twitter
rss


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Pendidikan sesungguhnya adalah transformasi budaya, sehingga persoalan budaya dan karakter bangsa yang kurang baik akan menjadi sorotan tajam masyarakat terhadap pelaksanaan pendidikan di setiap satuan pendidikan. Sorotan itu mengenai berbagai aspek kehidupan, tertuang dalam berbagai tulisan di media cetak, wawancara, dialog, dan gelar wicara di media elektronik.
            Persoalan yang muncul di masyarakat seperti korupsi, kekerasan, kejahatan seksual, perusakan, perkelahian massa, kehidupan ekonomi yang konsumtif, kehidupn politik yang tidak produktif, dan sebagainya menjadi topik pembahasan hangat di media massa, seminar, dan di berbagai kesempatan. Berbagai alternatif penyelesaian diajukan seperti peraturan, undang-undang, peningkatan upaya pelaksanaan dan penerapan hukum yang lebih kuat.
            Alternatif lain yang banyak dikemukakan untuk mengatasi, paling tidak mengurangi, masalah budaya dan karakter bangsa yang dibicarakan itu adalah pendidikan. Pendidikan dianggap sebagai alternatif yang bersifat preventif  karena pendidikan membangun generasi baru bangsa yang lebih baik. Sebagai alternatif yang bersifat preventif, pendidikan diharapkan dapat mengembangkan kualitas generasi muda bangsa dalam berbagai aspek yang dapat memperkecil dan mengurangi penyebab berbagai masalah budaya dan karakter bangsa, mengapa tidak karena pendidikan sesungguhnya adalah transformasi budaya.
            Kurikulum adalah jantungnya pendidikan (curriculum is the heart of education). Oleh karena itu, sudah seharusnya kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), saat ini, memberikan perhatian yang lebih besar pada pendidikan budaya dan karakter bangsa dibandingkan kurikulum masa sebelumnya.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa.
      Pendidikan adalah suatu usaha yang sadar dan sistematis dalam mengembangkan potensi peserta didik. Pendidikan adalah juga suatu usaha masyarakat dan bangsa dalam mempersiapkan generasi mudanya bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik di masa depan. Keberlangsungan itu ditandai oleh pewarisan budaya dan karakter yang telah dimiliki masyarakat dan bangsa. Oleh karena itu, pendidikan adalah proses pewarisan budaya dan karakter bangsa bagi generasi muda dan juga proses pengembangan budaya dan karakter bangsa untuk peningkatan kualitas kehidupan masyarakat dan bangsa di masa mendatang.
      Budaya diartikan sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma dan keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan masyarakat. Sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan itu adalah hasil dari interaksi manusia dengan sesamanya dan lingkungan alamnya yang kemudian digunakan dalam kehidupan manusia dan menghasilkan sistem sosial, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, sistem pengetahuan, teknologi, seni, dan sebagainya. 
      Pendidikan merupakan upaya terencana dalam mengembangkan potensi peserta didik, sehingga mereka memiliki sistem berpikir, nilai, moral, dan keyakinan yang diwariskan masyarakatnya dan mengembangkan warisan tersebut ke arah yang sesuai untuk kehidupan masa kini dan masa mendatang.
      Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakininya dan digunakannya sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain.
      Lingkungan sosial dan budaya bangsa adalah Pancasila, jadi pendidikan budaya dan karakter bangsa haruslah berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Dengan kata lain, mendidik budaya dan karakter bangsa adalah mengembangkan nilai-nilai Pancasila pada diri peserta didik melalui pendidikan hati, otak, dan fisik.
     
B.     Fungsi Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
      Fungsi daripada pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah sebagai :
a.       Pengembangan.
Pengembangan potensi peserta didik untuk menjadi perilaku yang baik bagi peserta didik yang telah memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan budaya dan karakter bangsa.
b.      Perbaikan.
Memperkuat kiprah pendidikan nasional untuk bertanggungjawab dalam pengembangan potensi peserta didik yang lebih bermartabat.
c.       Penyaring.
Untuk menyaring budaya-budaya bangsa sendiri dan budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa.

C.    Tujuan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
      Tujuan daripada pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah :
a.       Mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warganegara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa.
b.      Mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius.
c.       Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggungjawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa.
d.      Mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan.
e.       Mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan (dignity).

D.    Nilai-nilai dalam Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
      Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa diidentifikasi dari sumber-sumber  berikut ini :
1.      Agama: masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Oleh karena itu, kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama dan kepercayaannya. Secara politis, kehidupan kenegaraan pun didasari pada nilai-nilai yang berasal dari agama. Atas dasar pertimbangan itu, maka nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah yang berasal dari agama.
2.      Pancasila: negara kesatuan Republik Indonesia ditegakkan atas prinsip-prinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila. Pancasila terdapat pada Pembukaan UUD 1945 dan dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya, dan seni. Pendidikan budaya dan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang lebih baik, yaitu warga negara yang memiliki kemampuan, kemauan, dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya sebagai warga negara.
3.      Budaya: sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat itu. Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa.
4.      Tujuan Pendidikan Nasional: sebagai rumusan kualitas yang harus dimiliki setiap warga negara Indonesia, dikembangkan oleh berbagai satuan pendidikan di berbagai jenjang dan jalur. Tujuan pendidikan nasional memuat berbagai nilai kemanusiaan yang harus dimiliki warga negara Indonesia. Oleh karena itu, tujuan pendidikan nasional adalah sumber yang paling operasional dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa.

E.     Kedudukan Kurikulum dalam Pendidikan
      Sistem pendidikan harus dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan yang terjadi di tingkat lokal, nasional, maupun global. Salah satu komponen penting dari pendidikan adalah kurikulum, karena merupakan omponen yang dijadikan acuan pada satuan pendidikan.[1] Untuk kepentingan itu, kurikulum harus dirancang secara terpadu sesuai dengan aspek-aspek tersebut diatas guna mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan.
      Dilihat dari kedudukan dan fungsinya, kurikulum merupakan sebuah rancangan kegiatan belajar peserta didik yang terdiri dari tujuan, bahan ajar, metode, alat, dan penilaian yang saling terkait dan saling memengaruhi.[2] Untuk itu, dalam implementasinya guru dituntut mampu merencanakan pelaksanaan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran.[3] Perencanaan pengembangan kurikulum tersebut harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, karena fungsi pendidikan adalah untuk melayani kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, kekurangpahaman guru terhadap kurikulum bisa berakibat fatal terhadap hasil pembelajaran.
F.     Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
      Kurikulum KTSP merupakan kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan dan digunakan sebagai acuan pembelajaran disekolah.[4] Pemberlakuannya merupakan upaya menyempurnakan kurikulum yang diharapkan lebih familiar dengan guru, karena mereka banyak dilibatkan langsung dalam pengembangan kurikulum, sehingga memiliki tanggung jawab yang memadai dalam melayani masyarakat.
      Mengingat penyusunan kurikulum KTSP diserahkan kepada satuan pendidikan, maka dapat diasumsikan bahwa guru, kepala sekolah, dan komite sekolah harus bekerja sama secara sinergis, karena mereka terlibat secara langsung dalam proses penyusunannya. Dengan demikian, guru sebagai pelaksana kurikulum dalam pembelajaran dan penilaian di kelas paham betul apa yang harus dilakukan terkait dengan kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan yang terjadi disekolah.

G.    Prinsip dan Pendekatan Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
      Guru dan sekolah perlu mengintegrasikan nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa ke dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Berikut prinsip-prinsip yang digunakan dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa :
1.      Berkelanjutan: mengandung makna bahwa proses pengembangan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa merupakan sebuah proses panjang, dimulai dari awal peserta didik masuk sampai selesai dari suatu satuan pendidikan.
2.      Melalui semua mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya sekolah; mensyaratkan bahwa proses pengembangan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa dilakukan melalui setiap mata pelajaran, dan dalam setiap kegiatan kurikuler dan ekstrakurikuler.
3.      Nilai tidak diajarkan tapi dikembangkan; Materi pelajaran biasa digunakan sebagai bahan atau media untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa. Oleh karena itu, guru tidak perlu mengubah pokok bahasan yang sudah ada, tetapi menggunakan materi pokok bahasan itu untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa.
4.      Proses pendidikan dilakukan peserta didik secara aktif dan menyenangkan; prinsip ini menyatakan bahwa proses pendidikan nilai budaya dan karakter bangsa dilakukan oleh peserta didik bukan oleh guru. Guru menerapkan prinsip ”tut wuri handayani” dalam setiap perilaku yang ditunjukkan peserta didik. Prinsip ini juga menyatakan bahwa proses pendidikan dilakukan dalam suasana belajar yang menimbulkan rasa senang dan tidak indoktrinatif.

H.    Model Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
      Pendidikan budaya dan karakter bangsa dilakukan oleh kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan (konselor) secara bersama-sama sebagai suatu komunitas pendidik dan diterapkan ke dalam kurikulum melalui hal-hal berikut ini :
1.      Program Pengembangan Diri.
Perencanaan dan pelaksanaan pendidikan budaya dan karakter bangsa dilakukan melalui pengintegrasian ke dalam kegiatan sehari-hari sekolah yaitu melalui hal-hal berikut :
a.       Kegiatan rutin sekolah.
Kegiatan rutin merupakan kegiatan yang dilakukan peserta didik secara terus menerus dan konsisten setiap saat. Contoh kegiatan ini adalah upacara pada hari besar kenegaraan, pemeriksaan kebersihan badan (kuku, telinga, rambut, dan lain-lain).
b.      Kegiatan spontan.
Kegiatan spontan yaitu kegiatan yang dilakukan secara spontan pada saat itu juga. Apabila guru mengetahui adanya perilaku dan sikap yang kurang baik maka pada saat itu juga guru harus melakukan koreksi sehingga peserta didik tidak akan melakukan tindakan yang tidak baik itu. Contoh kegiatan itu: membuang sampah tidak pada tempatnya, berteriak-teriak sehingga mengganggu pihak lain, berkelahi, memalak, berlaku tidak sopan, mencuri, berpakaian tidak senonoh.
c.       Keteladanan.
Keteladanan adalah perilaku dan sikap guru dan tenaga kependidikan yang lain dalam memberikan contoh terhadap tindakan-tindakan yang baik sehingga diharapkan menjadi panutan bagi peserta didik untuk mencontohnya. Jika guru dan tenaga kependidikan yang lain menghendaki agar peserta didik berperilaku dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa maka guru dan tenaga kependidikan yang lain adalah orang yang pertama dan utama memberikan contoh berperilaku dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai itu. Misalnya, berpakaian rapi, datang tepat pada waktunya, bekerja keras, bertutur kata sopan, kasih sayang, perhatian terhadap peserta didik, jujur, menjaga kebersihan.
d.      Pengkondisian
Untuk mendukung keterlaksanaan pendidikan budaya dan karakter bangsa maka sekolah harus dikondisikan sebagai pendukung kegiatan itu. Sekolah harus mencerminkan kehidupan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang diinginkan. Misalnya, toilet yang selalu bersih, bak sampah ada di berbagai tempat dan selalu dibersihkan, sekolah terlihat rapi dan alat belajar ditempatkan teratur.
2.      Pengembangan Proses Pembelajaran.
Pembelajaran pendidikan budaya dan karakter bangsa menggunakan pendekatan proses belajar peserta didik secara aktif dan berpusat pada anak, dilakukan melalui berbagai kegiatan di kelas, sekolah, dan masyarakat.
a.       Kelas, melalui proses belajar setiap mata pelajaran atau kegiatan yang dirancang sedemikian rupa. Setiap kegiatan belajar mengembangkan kemampuan dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Oleh karena itu, tidak selalu diperlukan kegiatan belajar khusus untuk mengembangkan nilai-nilai pada pendidikan budaya dan karakter bangsa. Meskipun demikian, untuk pengembangan nilai-nilai tertentu seperti kerja keras, jujur, toleransi, disiplin, mandiri, semangat kebangsaan, cinta tanah air, dan gemar membaca dapat melalui kegiatan belajar yang biasa dilakukan guru.
b.      Sekolah, melalui berbagai kegiatan sekolah yang diikuti seluruh peserta didik, guru, kepala sekolah,  dan tenaga administrasi di sekolah itu, direncanakan sejak awal tahun pelajaran, dimasukkan ke Kalender Akademik dan yang dilakukan sehari-hari sebagai bagian dari budaya sekolah. Contoh kegiatan yang dapat dimasukkan ke dalam program sekolah adalah lomba vocal group antarkelas tentang lagu-lagu bertema cinta tanah air, pagelaran seni, lomba pidato bertema budaya dan karakter bangsa, pagelaran bertema budaya dan karakter bangsa.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
            Pengembangan Pendidikan budaya dan karakter bangsa, tidak dibuat dalam bentuk mata pelajaran tersendiri tetapi cukup dengan memberikan penguatan pada masing-masing mata pelajaran yang selama ini dinilai sudah mulai kendur. Dalam hal harus juga dikembangkan kultur sekolah dan prilaku warga sekolah melalui pembiasaan-pembiasaan di lingkungan sekolah.
            Kurikulum saat ini memang sudah memasukkan pendidikan budaya dan karakter bangsa. Namun, yang lebih dikedepankan adalah materi bahan ajar ketimbang memadukan dengan nilai-nilai budaya yang sesungguhnya bisa diterapkan secara bersamaan.
            Adalah hal yang mudah untuk dirancang tatapi sulit diimplementasikan apabila pendidikan budaya dan karakter bangsa tidak diimbangi dengan komitmen setiap warga sekolah dan masyarakat/lingkungan untuk mewujudkannya. Karena bagaimanapun juga pendidikan yang berkaitan dengan nilai-nilai dan budaya sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan prilaku warga sekolah.
            Dalam perancangan Implementasi Pendidikan budaya dan Karakter Bangsa di Satuan Pendidikan model pengembangan KTSP dan Program Sekolah melalui analisis konteks sudahlah mencukupi untuk digunakan dengan beberapa modifikasi. Hal yang paling utama adalah bagaimana kemudian apa yang sudah direncanakan dapat diimplementasikan dengan baik.





Daftar Pustaka

Mulyasa, E. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Bandung: Remaja Rosda Karya, 2007.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standart Nasional Pendidikan
Sudjana, Nana. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru, 1991.
Raharjo, Rahmat. Inovasi Kurikulum Pendidikan Agama Islam. Yogyakarta: Magnum Pustaka, 2010.
Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Agama Islam. Jakarta:  PT RajaGrafindo Persada, 2007.


[1] E. Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), hlm. 4.
[2] Nana Sudjana, Dasar-dasar Prose Belajar Mengajar (Bandung: Sinar Baru 1989), hlm. 30.
[3] Lihat Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 20 butir (a).
[4] Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005, pasal 1:15.


BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang
            Pendidikan agama saat ini menuai berbagai kritik yang tajam karena ketidakmampuannya dalam menanggulangi berbagai isu penting dalam kehidupan masyarakat, seperti mempercayai kepercayaan keagamaan dan keragaman kultural yang beraneka ragam yang sering melahirkan ketidakharmonisan dan konflik berbau SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan).
            Sejumlah persoalan tersebut terkait dengan penyelenggaraan pendidikan agama di lapangan, sehingga peran keefektifannya dipertanyakan. disamping itu, pendidikan agama di sekolah juga dipandang belum mampu menjadi roh atau semangat yang mendorong pertumbuhan harmoni kehidupan sehari-hari.
            Akan menjadi tidak adil bila munculnya kesenjangan antara harapan dan kenyataaan hanya ditimpakan kepada pendidikan agama disekolah, sebab pendidikan agama bukan satu-satunya faktor pembentuk watak dan kepribadian peserta didik, namun kenyataan peran guru pendidikan agama sebagai pengembang kurikulum sangat besar (berpengaruh) terhadap pembentukan kepribadian peserta didik.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kurikulum Pendidikan Agama Islam
            Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran, serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran unutk mencapai tujuan pendidikan,[1] yang salah satunya melalui mata pelajaran pendidikan agama.
            Mata pelajaran PAI merupakan salah satu mata pelajaran (subject matter) yang dikemas dalam sebuah kurikulum dan harus diikuti oleh peserta didik yang beragama Islam. Mata pelajaran PAI berfungsi sebaga pengajaran gama Islam, proses sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai agama Islam, rekonstruksi sosial dan sumber nilai dalam kehidupan masyarakat, dalam rangka membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, serta berkahlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antarumat beragama.
            Pada sekolah menengah pertama (SMP), kurikulum PAI mempunyai kedudukan yang strategis untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, sejajar dengan mata pelajaran lainnya. Keberadaan PAI di SMP tidak terpisahkan dari pendidikan nasional, yang tujuannya untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, tekhnologi, dan seni, yang realisasinya membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta menjadikannya berakhlak mulia. Sejalan dengan tujuan ini, maka semua mata pelajaran yang diajarkan kepada peserta didik harus mengandung muatan pendidikan akhlak yang harus diperhatikan setiap guru.
            Di dalam rancangan kurikulum PAI pada SLTP (1999), telah diuraikan secara terinci tentang kemampuan dasar lulusannya sebagai berikut :
            “Dengan landasan iman yang benar, siswa: (1) mampu membaca Al-Qur’an, menulis dan memahami terjemahan ayat-ayat pilihan; (2) mengetahui, memahami, dan meyakini unsur-unsur keimanan; (3) memahami sejarah Nabi Muhammad Saw dan perkembangan agama Islam; (4) memahami fikih ibadah, muamalah, munakahat, dan jinayat; (5) melaksanakan ibadah dalam kehidupan sehari-hari; dan (6)  berbudi pekerti luhur/berakhlak mulia”. (Ditjen Binbaga Islam, 1999)[2]
            Muatan akhlak yang harus diperhatikan setiap guru dalam pembelajaran merupakan wujud pengembangan potensi beragama peserta didik sebagaiman tujuan pendidikan nasional yang pada hakikatnya telah dimiliki oleh setiap peserta didik yang disebut fitrah. Tugas guru PAI dalam mengembangkan kurikulum adalah mengembangkan fitrah agar menjadi kemampuan aktual dan mengarahkannya unutk kebaikan, sehingga peserta didik dapat mencapai kesempurnaan dengan lengkapnya sifat-sifat kemanusiaan dalam arti yang sesungguhnya.
            Dengan demikian tugas guru PAI dalam pembelajaran adalah meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan, dan pengalaman peserta didik akan ajaran Agama Islam agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, berskhlak mulia, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.[3]
B.     Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam
            Pengembangan kurikulum  menjadi kurikulum KTSP  melibatkan berbagai pihak (sekolah, komite sekolah, dan guru) yang tidak hanya menuntut ketrampilan teknis dari pihak pengembang, tetapi kemampuan berbagai faktor yang memengaruhi pengembangannya. Pengembangan kurikulum KTSP, dalam konteks ini kurikulum PAI, disusun sebagai wujud pelayanan kepada masyarakat yang mempunya latar belakang budaya dan adat istiadat yang berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya. Oleh karena itu pengembangan kurikulum PAI harus mampu melayani kebutuhan mereka, dengan memfokuskan pengembangan pada kompetensi tertentu yang berupa pengetahuan agama, keterampilan beragama, sikap yang utuh dan terpadu antara ilmu dan amal, serta kemampuan peserta didik mendemonstrasikan sebagai wujud hasil belajar dengan pendektan informal cultural religious agar lebih bisa diterima masyarakat.
C.    Pelaksanaan Kurikulum Pendidikan Agama Islam
            Untuk mencapai kompetensi yang diharapkan dalam pembelajaran diperlukan pembelajaran yang efektif. Suatu pembelajaran dikatakan efektif apabila pembelajaran tersebut dapat membelajarkan pesereta didik secara kondusif. Untuk itu diperlukan metode dan  strategi pembelajaran yang bervariasi, yang meliputi sebagai berikut :
a)      Student centered instruction, yaitu pembelajaran yang berpusat pada peserta didik seperti  diskusi dlam berbagai variasi, kemudian dapat dikembangkan dengan adanya game yang dapat membuat pembelajaran menjadi lebih hidup. Peserta didik bersifat aktif sedang guru fasilitator.
b)      Collaborative learning, yaitu cara beklajar siswa aktif melalui proses pembelajaaran yang dilakukan secara bersama-sama antara guru dan peserta didik atau antara peserta didik dengan peserta diidk yang lain.
c)      Cooperative learning, yaitu proses pembelajaran yang memberikan kesempatan pada peserta didik untuk terlibat dala kelompoknya, dalam melaksanakan tugas yang diberi oleh gurunya, dan masing-masing anggota memiliki tugas dalam kelompoknya an saling memeriksa pekerjaan teman-temannya kemudian bisa dikembangkan menjadi variasi kelompok.
d)     Self discovery learning, yaitu belajar melalui penemuan mereka sendiri, melalui penelitian dengan menemukan sendiri masalah yang harus dipelajari dan dipecahkan. Untuk itu, keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran merupakan hal sangat penting dan menentukan keberhasilan pembelajaran.[4]
e)      Quantum learning, yaitu strategi belajar dimana dalam belajar semua indera harus bekerja aktif, di mana semua komponen kecerdasan akan aktif bekerja menggunakan multimedia dan pendayagunaan kelompok belajar.[5]
f)       Contextual Teaching and Learning (CTL), yaitu strategi yang digunakan untuk membantu peserta didik untuk memahami makna dari materi pelajaran dengan mengaitkan mata pelajaran tersebut dengan konteks kehidupan mereka.

D.    Kendala-kendala Pelaksanaan Pembelajaran
            Kendala pembelajaran adalah hambatan yang menjadikan pelaksanaan pembelajaran tidak evektif. Kendala disini juga meliputi problem-problem yang sering dikeluhkan oleh peserta didik maupun guru selaku pelaksana kurikulum. Kendala-kendala dalam pembelajaran PAI dapat berasal dari guru, peserta didik, kepala sekolah,  ketersediaan sarana dan prasarana, dan sebagainya.
a.          Guru dan Peserta Didik
        Untuk mencapai keberhasilan dalam pembelajaran peran guru sebagai pelaksana kurikulum dan peserta didik sebagai subjek pembelajaran sangat berpengaruh. Kurangnya keterampilan guru melaksanakan pembelajaran yang mendidik terkait erat dengan kebiasaan yang sudah lama melekat dalam sistem sentntralisasi pendidikan, yaitu pembelajaran yang menekankan pada pencapaian target materi dan ranah kognitif (menghafal, memindahkan pengetahuan dari otak ke otak) yang disampaikan secara verbal. Padahal, sesungguhnya pembelajaran PAI menuntut porsi yang lebih besar pada aspek afektif. Namun kenyataannya, justru aspek ini yang menjadi kelemahan pembelajaran PAi selama ini.
        Responden lain mengeluhkan masih adanya sebagian peserta didik yang menganggap bahwa PAI merupakan mata pelajaran yang kurang penting, yaitu sebagai mata pelajaran pelengkap disbanding dengan mata pelajaran lain yang diujikan secara nasional.anggapan seperti ini menjadikan motivasi belajar mereka rendah. Kondisi demikian seharusnya menjadi tantangan oleh guru PAI untuk mencari strategi yang mampu mengajak peserta didik memiliki etos dan tanggung jawab belajar sebagai kebutuhannya sendiri. Dalam pembelajaran, guru PAI harus punya niat untuk membimbing peserta didik selamat didunia dan akhirat. Untuk itu, guru PAI harus bisa menjadi teladan bagi peserta didiknya.
b.         Kepala Sekolah
        Komponen pendidikan yang harus bertanggung jawab terhadap keberhasilan maupun keberlangsungan proses pendidikan di sekolah adalah kepala sekolah. Oleh karena itu, kepala sekolah berkewajiban membantu guru-guru dalam usaha mereka mengembangkan keterampilan mengajarnya.
c.          Sarana dan Prasarana
        Pelaksanaan pembelajaran PAI tidak akan optimal tanpa adanya dukungan sarana prasarana yang memadai untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Data menunjukan bahwa problem yang dihadapi guru PAI adalah terbatasnya sarana prasarana yang dibutuhkan.
E.     Problematika Kurikulum PAI di SMP
1.    Bagaimana tertuang dalam kurikulumnya, agaknya masih terpilah-pilah menjadi beberapa aspek, yaitu : aspek Al-Qur’an/Hadits, aqidah akhlak, fiqih dan tarikh Islam. Sehingga pembelajaran yang dilaksanakan terpisah tersebut hanya terfokus pada sub mata pelajaran PAI saja.
2.    Pemahaman aspek-aspek PAI maupun proses pelaksanaannya yang terpilah- pilah tersebut pada kenyataannya problem-problem yang muncul dilapangan,antara lain :
Ø Orientasi mempelajari al-Qur’an masih cenderung pada kemampuan membaca teks, belum mengarah pada pemahaman arti dan penggalian makna secara tekstual dan kontekstual.
Ø Aspek aqidah akhlak, ibadah dan syari’ah yang diajarkan hanya sebagaitata aturan keagamaan dan kurang ditekankan sebagai proses pembentukan kepribadian sebagai konsekwensi dari pengajaran agama islam tersebut.
Ø Kurang terciptanya suasana religious di sekolah, yang seharusnya tercipta sebagai manifestasi dari potret lingkup terkecil dari efek pembelajaran pendidikan agama Islam di SMP.
F.     Solusi Problematika Kurikulum PAI di SMP
            Dua jam pelajaran di kelas memang tidaklah akan cukup untuk menyampaikan informasi keagamaan yang begitu komplek. Kalaulah kita tidak  pandai mensiasatinya maka informasi yang diterima pelajar khawatir hanya akanmenyentuh aspek kognitif saja sementara aspek afektif dan psikomotor tidak dapattersentuh.
            Upaya untuk mensiasati keterbatasan jam pelajaran dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, diantaranya adalah :
a.      Menyelenggarakan Bina Rohani Islam (ROHIS)
      Kegiatan Bina Rohani Islam (ROHIS), dapat dijadikan sebagai kegiatanekstra kurikuler yang wajib diikuti oleh seluruh pelajar yang beragama Islam.
b.      Mengkondisikan Sekolah Dengan Kegiatan Keagamaan
      Diantaranya bisa dilakukan melalui setiap hari sebelum belajar  diusahakan setiap pelajar membaca Al-Qur’anantara 5 s.d 10 ayat. Siswa yang telah bisa membaca Al-Qur’an diharapkandapat membantu temannya yang masih belum bisa membaca Al-Qur’an.Sehingga saat menghadapi ujian praktek Pendidikan Agama Islam seluruh pelajar telah dapat membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
            Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran, serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran unutk mencapai tujuan pendidikan, yang salah  satunya melalui mata pelajaran pendidikan agama.

            Pengembangan kurikulum  menjadi kurikulum KTSP  melibatkan berbagai pihak (sekolah, komite sekolah, dan guru) yang tidak hanya menuntut ketrampilan teknis dari pihak pengembang, tetapi kemampuan berbagai faktor yang memengaruhi pengembangannya.

            Untuk mencapai kompetensi yang diharapkan dalam pembelajaran diperlukan pembelajaran yang efektif, yaitu dengan beberapa metode dan strategi pembelajaran yang bervariasi, meliputi:
a.       Student centered instruction
b.      Collaborative learning
c.       Cooperative learning
d.      Self discovery learning
e.       Quantum learning
f.       Contextual Teaching and Learning (CTL)

            Kendala pembelajaran adalah hambatan yang menjadikan pelaksanaan pembelajaran tidak evektif. Kendala disini juga meliputi problem-problem yang sering dikeluhkan oleh peserta didik maupun guru selaku pelaksana kurikulum. Kendala-kendala dalam pembelajaran PAI dapat berasal dari guru, peserta didik, kepala sekolah,  ketersediaan sarana dan prasarana, dan sebagainya.


DAFTAR PUSTAKA
LPK. 2003. Materi Pokok Sosialisasi KBK. Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang, Depdiknas.
Muhaimin.2004. Paradigma Pendidikan Islam. PT.Remaja Rosdakarya: Bandung.
Muhaimin. 2007. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Mulyasa. 2005. Implementasi Kurikulum 2004 Panduan pelaksanaan KBK.  Bandung : Remaja Rosdakarya.
Raharjo, Rahmat. 2010. Inovasi Kurikulum Pendidikan Agama Islam. Yogyakarta: Magnum Pustaka.


[1] Lihat Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 1:13.
[2] Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam (PT.Remaja Rosdakarya: Bandung, 2004), hlm.105
[3] Rahmat Raharjo, Inovasi Kurikulum Pendidikan Agama Islam (Yogyakarta: Magnum Pustaka, 2010), hlm. 68.
[4] E. Mulyasa, Implementasi Kurikulum 2004, Panduan pelaksanaan KBK(Bandung : Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 156.
[5] LPK, Materi Pokok Sosialisasi KBK( Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang, Depdiknas, 2003), hlm. 3.