twitter
rss

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
            Pada tahap awal pendidikan Islam itu berlangsung secara informal. Para mubaligh banyak memberikan contoh teladan dalam sikap hidup mereka sehari-hari. Para mubaligh itu menunjukkan akhlakul karimah, sehingga masyarakat yang didatangi menjadi tertarik untuk memeluk agama Islam dan mencontoh perilaku mereka. Lewat pergaulan antara para mubaligh dan masyarakat sekitar terbentuklah masyarakat muslim.
            Setelah masyarakat muslim di suatu daerah terbentuk, maka yang menjadi perhatian mereka  yang pertama sekali adalah mendirikan rumah ibadat (masjid, langgar atau mushalla). Karena kaum muslimin itu diwajibkanuntuk shalat lima waktu dan dianjurkan untuk berjamaah. Selain itu, sekali seminggu diwajibkan untuk melaksanakan shalat Jumat. Jadi, suatu hal yang tidak boleh tidak, mesti ada dilingkungan masyarakat muslim adalah rumah ibadat.
            Di dalam sejarah Islam sejak zaman Nabi Muhammad telah difungsikan rumah ibadat tersebut sebagai tempat pendidikan. Rasul menjadikan Masjid Nabawi untuk berlangsungnya proses pendidikan di dalamnya. Perbuatan beliau ini ditiru oleh khalifah-khalifah sesudah beliau. Dengan demikian, masjid berfungsi sebagai tempat pendidikan adalah merupakan suatu keharusan di kalangan masyarakat muslim.




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Pendidikan Islam
            Pendidikan sebagai salah satu usaha untuk membina dan mengembangkan seluruh aspek kepribadian manusia jasmani dan rohani agar menjadi manusia yang berkepribadian harus berlangsung secara bertahap. Oleh karena itu, banyak pakar yang pendidikan memberikan arti pendidikan sebagai suatu proses dan berlangsung seumur hidup. Karenanya pula, pendidikan tidak hanya berlangsung di dalam kelas, tetapi juga diluar kelas.
            Pendidikan tidak hanya terbatas pada usaha mengembangkan intelektualitas manusia, melainkan juga mengembangkan seluruh aspek kepribadian manusia untuk mencapai kehidupan yang sempurna. M.J. Adler mengartikan “pendidikan” adalah suatu proses di mana semua kemampuan manusia (bakat dan kemampuan yang diperoleh) dapat dipengaruhi oleh pembiasaan dan disempurnakan dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik melalui sarana yang artistik serta dibuat dan dipakai oleh siapapun untuk membantu orang lain atau dirinya sendirinya dalam mencapai tujuan yang ditetapkan dengan kebiasaan yang baik.[1]
            Dari ungkapan beberapa definisi pendidikan dalam pengertian yang masih umum mengandung arti bahwa pendidikan adalah proses kependidikan yang mengandung pengarahan kepada suatu tujuan tertentu atau suatu proses yang berlangsung ke arah sasaran tertentu.[2]
            Jika pengertian-pengertian umum pendidikan yang telah dikemukakan dihubungkan dengan pengertian pendidikan Islam maka akan nampak perbedaan penekanan tujuan pendidikan yang hendak dicapai yaitu: kesempurnaan manusia, yang puncaknya dalah dekat kepada Allah, dan kesempatan manusia ang puncaknya adalah kebahagiaan dunia akhirat.[3]

B.     Sekilas tentang Lembaga Pendidikan pada Masa Awal Islam
            Dalam menulusuri bagaimana sistem dan perkembangan ilmu dalam Islam di masa klasik (sejak masa Nabi Muhammad), penting sekali dengan terlebih dahulu melihat keberadaan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang ada, karena dengan melihat perkembangan lembaga-lembaga pendidikan yang ada, setidaknya akan dapat melihat bagaiman sistem yang diberlakukan dalam lembaga pendidikan tersebut.
            Apalagi kondisi sosiokultural masyarakat Arab pra-Islam terutama pada masyarakat Mekkah dan Madinah sangat mempengaruhi pole pendidikan periode Nabu di Mekkah dan Madinah. Secara kuantitas orang-orang yang masuk Islma pada fase Mekkah lebih sedikit daripada orang-orang yang masuk Islam pada fase Madinah. Hal tersebut diantaranya disebabkan oleh watak dan budaya nenek moyang mereka sedangkan masyarakat Madinah lebih mudah memasuki ajaran Islam karena saat kondisi masyarkat, khususnya Aus dan Khazraj, sangat membutuhkan seorang pemimpin, untuk melenturkan pertikaian sesama mereka dan sebagai “pelindung” dari ancaman kaum Yahudi, di samping sifat penduduknya yang lebih ramah yang dilatar belakangi kondisi geografis yang lebih nyaman dan subur.
            Konsep dan perkembangan pendidikan Islam sejak masa Nabi Muhammad sebenarnya sudah terancang dengan baik, hanya saja di kala itu belum menjadi semacam pendidikan formal, hal ini terbukti adanya beberapa media atau lembaga pendidikan yang diselenggarakan. Lembaga pendidikan tersebut merupakan suatu wadah berprosesnya suatu komponen pendidikan Islam yang sempurna. Adakalanya kelembagaan dalam masyarakat secara eksplisit membuktikan bahwa kuatnya tanggung jawab kultural dan edukatif masyarakat muslim dalam mempraktikan ajaran Islam. Berapa lembaga pendidikan yang sudah ada sejak zaman nabi Muhammad adalah sebagai berikut :
a.       Kuttab.
b.      Masjid.
c.       Majelis Muhadharah.
d.      Maktabah (Perpustakaan).
e.       Madrasah.
f.       Dan lembaga pendidikan lainnya.[4]

C.    Perbedaan Kuttab, Halaqah, dan Masjid
            Terdapat beberapa perbedaan antara Kuttab, Halaqah, dan Masjid yang bisa kita lihat dari beberapa penjelasan sebelumnya.
1.      Kuttab
a.       Tujuan pendidikannya :
Memberikan pengajaran membaca dan menulis.
b.      Materi yang diajarkan :
-          Berorientasi pelajarannya kepada Al-Quran, mengajari pelajaran berenang, mengendarai onta, memanah, kaligrafi, dan lain-lain.
-          Tempat belajar menulis warisan kebudayaan sastra pra-Islam.
c.       Metode pengajarannya :
Lisan, menghafal, dan menulis Halaqah
d.      Evaluasinya :
Menghafalkan materi yang sudah dijelaskan.
2.      Halaqah
a.       Tujuan pendidikannya :
-          Menciptakan sumber daya manusia yang mau berpikir kritis.
-          Menghidupkan khasanah keilmuan.
b.      Materi yang diajarkan :
Ilmu agama, filsafat, mengetahuan umum, dan ilmu politik (menyusun gerakan-gerakan perang).
c.       Metode pengajarannya :
Diskusi dan tanya jawab.
d.      Evaluasinya :
Aksi dakwah Islam.
3.      Masjid
a.       Tujuan pendidikannya :
Penyampaian wahyu.
b.      Materi yang diajarkan :
Al-Quran, tauhid, mengajarkan ilmu sosial, budaya, dan politik.
Latihan perang, dagang.
c.       Metode pengajarannya :
Ceramah, tabligh dan dakwah.
d.      Evaluasinya :
Hafalan dan mengaplikasian dalam kehidupan

D.    Masjid sebagai Lembaga Pendidikan Islam
            Semenjak berdirinya masjid di zaman Nabi Muhammad SAW masjid telah menjadi pusat kegiatan dan informasi berbagai masalah kehidupan kaum muslimin. Ia menjadi tempat bermusyawarah, tempat mengadili perkara, tempat menyampaikan penerangan agama dan informasi-informasi lainnya dan tempat menyelenggarakan pendidikan, baik bagi anak-anak maupun orang dewasa. Kemudian pada masa Khalifah Bani Umaiyah berkembang fungsinya sebagai tempat pengembangan  ilmu pengetahuan, terutama yang bersifat keagamaan. Para ulama mengajarkan ilmu di masjid, tetapi majlis khalifah berpindah ke masjid atau ke tempat tersendiri.[5]
            Ketika Nabi dan para sahabat hijrah ke Madinah, salah satu program pertama yang dilakukan nabi Muhammad adalah pembangunan masjid. Meskipun demikian, eksistensi kuttab sebagai lembaga pendidikan di Madinah tetap dimanfaatkan setelah hijrah ke Madinah. Bahkan materi dan penyajiannya lebih dikembangkan seiring dengan semakin banyaknya wahyu yang diterima Nabi.
            Dalam sejarah Islam, masjid yang pertama kali dibangun nabi Muhammad adalah masjid at-Taqwa di Quba pada jarak perjalanan kurang lebih 2 mil dari kota Madinah ketika nabi Muhammad berhijrah dari Mekkah. Nabi Muhammad membangun sebelah utara masjid Madinah dan amsjid al-Haram sebuah bangunan yang disebut as-suffah, untuk menjadi tempat tinggal orang-orang fakir miskin yang menuntut ilmu, yang akhirnya mereka dikenal dengan sebutan “ahli suffah”.
            Oleh sebab itu, masjid di masa perkembangan awal Islam, selain sebagai tempat ibadah berfunsi juga sebagai institusi pendidikan. Bahkan masjid juga diklaim sebagai lembaga ilmu pengetahuan yang tertua dalam Islam, sebab pembangunannya telah dimulai sejak zaman Nabi dan ia tersebar ke seluruh negeri Arab bersamaan dengan bertebarnya di berbagai pelosok negeri tersebut, dan di dalam masjid ini juga dimulai mengajarkan al-Quran dan dasar-dasar agama Islam pada masa Nabi, disamping fungsinya yang utama sebagai tempat untuk menunaikan shalat dan ibadah, fakta yang demikian kemudian juga melahirkan tesis bahwa masjid memiliki multifungsi merupakan jantung peradaban Islam yang pertama.
            Di masjid juga umat muslim mempelajari agama Islam bersama nabi Muhammad. Jika terdapat persoalan-persoalan diantara mereka tentang ajaran Islam, maka nabi Muhammad menjadi tumpuan pertanyaan mereka.[6]
            Pendidikan Islam yang berlangsung di amsjid adalah pendidikan yang unik karena memakai sistem halaqah (lingkaran). Sang syekh biasanya duduk didekat dinding atau pilar masjid, sementara siswanya duduk didepannya membentuk lingkaran dan lutut para peserta didik bersentuhan. Bila ditinjau lebih lanjut, bahwa sistem halaqah seperti demikian, adalah bentuk pendidikan yang tidak hanya menyentuh perkembangan dimensi intelektual akan tetapi lebih menyentuh dimensi emosional dan spiritual peserta didik. Kebiasaan dalam halaqah adalah siswa yang lebih tinggi pengetahuannya yang duduk dekat syekh. Siswa yang level pengetahuannya lebih rendah dengan sendirinya akan duduk lebih jauh, sementara berjuang lebih keras agar dapat mengubah posisinya dalam konfigurasi halaqah nya.[7]
            Masjid fungsi utamanya adalah untuk tempat shalat yang lima waktu ditambah dengan sekali seminggu dilaksanakan shalat Jumat dan dua kali stahun dilaksanakan shalta hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Selain masjid ada juga tempat ibadah yang disebut langgar, bentuknya kecil dari masjid dan digunakan hnaya untuk tempat shalat lima waktu, bukan untuk tempat shalat Jumat.
            Selain dari fungsi utama masjid dan langgar difungsikan juga untuk tempat pendidikan. Di tempat ini dilakukan pendidikan untuk orang dewasa maupun anak-anak. Pengajianyang dilakukan untuk orang dewasa adlah penyampaian-penyampaian ajaran Islam oleh mubaligh (al-ustadz, guru, kiai) kepada para jamaah dalam bidang yang berkenaan dengan akidah, ibadah dan akhlak.
            Sedangkan pengajian yang dilaksanakan ialah anak-anak berpusat kepada pengajian Al-Quran menitikberatkan kepada kemampuan membacanya dengan baik sesuai dengan kaidha-kaidah bacaan. Selain dari itu anak-anak juga diberi pendidikan keimanan ibadah dan akhlak. Keimanan bertumpu kepada rukun iman yang enam sedangkan ibadah dititikberatkan kepada pendidikan shalat. Adapun akhlak ditujukan kepada pembentukan akhlak yang mulia, dalam tingkah laku kesehariannya.[8]


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
            Pendidikan pada masa awal Islam masih bersifat nonformal. Masjid selain sebagai tempat shalat lima waktu, shalat Jumat, shalat Idul Fitri dan Idul Adha juga digunakan sebagai tempat belajar atau pusat pendidikan.
            Masjid menjadi tempat bermusyawarah, tempat mengadili perkara, tempat menyampaikan penerangan agama dan informasi-informasi lainnya dan tempat menyelenggarakan pendidikan, baik bagi anak-anak maupun orang dewasa.
           


Daftar Pustaka

Mortimer J., Adler. In Defense of the Philosophy of Education. Chicago: The University of Chicago Pres, 1962.
Djumransyah. Pendidikan Islam “Menggali Tradisi, Meneguhkan eksistensi”. Malang: Penerbit UIN-Malang Press, 2007.
Baharuddin, dkk. Dikotomi Pendidikan Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011.
Zuhairini. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1997.
Putra, Haidar. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2009.





[1] Adler, Mortimer J., In Defense of the Philosophy of Education (Chicago: The University of Chicago Pres, 1962), hlm. 209.
[2] Djumransyah, Pendidikan Islam “Menggali Tradisi, Meneguhkan eksistensi” (Malang: Penerbit UIN-Malang Press, 2007), hlm. 15.
[3] Ibid, hlm. 16.
[4] Baharuddin, Umiarso, dkk. Dikotomi Pendidikan Islam (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 209-210.
[5] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), hlm. 99.
[6] Baharuddin, Umiarso, dkk. Dikotomi Pendidikan Islam (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 214-215.
[7]Ibid, hlm. 216.
[8] Haidar Putra, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 20-21.

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
            Masalah belajar yang dapat dikatakan sebagai tindak pelaksanaan usaha pendidikan, adalah masalah setiap orang. Tiap orang boleh dikatakan selalu belajar, karena kenyataan bahwa belajar adalah masalah setiap orang maka jelaslah kiranya perlu dan penting menjelaskan masalah belajar itu.
            Manusia yang ingin mempertahankan hidupnya, ia harus tumbuh. Pertanyaannya, bagaimanakah usaha kita agar kita senantiasa tumbuh dan berkembang? Jawabannya yaitu kita mesti belajar. Apakah belajar itu dan bagaimana prosesnya? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu sering terlontar berhubung masih kurangnya pemahaman seseorang tentang arti belajar.
            Belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam penyelenggaraan setiap jenis dan jenjang pendidikan. Ini berarti bahwa berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan itu amat bergantung pada proses belajar yang dialami siswa, baik ketika ia berada di sekolah maupun di lingkungan rumah atau keluarga sendiri.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Belajar
            Arti kata belajar dalam buku Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu. Perwujudan dari berusaha adalah berupa kegiatan sehingga belajar merupakan suatu kegiatan.
            Dalam Kamus Bahasa Inggris, belajar atau to learn mempunyai arti: (1) to gain knowledge, comprehension, or mastery of through experience or study; (2) to fix in the mind or memory; memorize; (3) to acquire through experience; (4) to become in forme of to find out. Jadi, ada empat macam arti belajar menurut kamus bahasa Inggris, yaitu memperoleh pengetahuan atau menguasai pengetahuan melalui pengalaman, mengingat, menguasai melalui pengalaman, dan mendapat informasi atau menemukan.
            Berdasarkan definisi menurut kedua kamus tersebut, ada dua unsur pokok yang terkandung dalam belajar, yaitu kegiatan dan penguasaan.[1]
            Berikut adalah definisi belajar menurut para ahli :
a.       Hintzman dalam bukunya The Psychology of Learning and Memory berpendapat Learning is a change in organism due to experience which can affect rhe organism’s behavior. Artinya, belajar adalah suatu perubahan yang terjadi dalam diri organisme (manusia atau hewan) disebabkan oleh pengalaman yang dapat mempengaruhi tingkah laku organisme tersebut. jadi, dalam pandangan Hintzman, perubahan yang ditimbulkan oleh pengalaman tersebut baru dikatakan belajar apabila memengaruhi organisme.[2]
b.      Wittig dalam bukunya Psychology of Learning mendefinisikan belajar sebagai: any relatively permanent change in an organism’s behavioral repertoire that occurs as a result of experience. Belajar ialah perubahan yang relatif menetap yang terjadi dalam segala macam/keseluruhan tingkah laku suatu organisme sebagai hasil pengalaman.[3]
c.       Cronbach di dalam bukunya Educational Psychology menyatakan bahwa: leraning is shown by a change in behavior as a result of experience. Jadi, menurut Cronbach belajar yang sebaik-baiknya adalah dengan mengalami, dan dalam mengalami itu si pelajar mempergunakan panca inderanya.[4]
d.      Arthur J. Gates, menurutnya yang dinamakan belajar adalah perubahan tingkah laku melalui pengalaman dan latihan (leraning is the modification of behavior through experience and training).[5]
                       
                        Timbulnya keanekaragaman pendapat para ahli tersebut adalah fenomena perselisihan yang wajar karena adanya perbedaan titik pandang. Selain itu, perbedaan antara satu situasi belajar dengan situasi belajar lainnya yang diamati oleh para ahli juga dapat menimbulkan perbedaan pandangan.
                        Dari berbagai definisi belajar yang telah dikemukakan para ahli tersebut dapat ditarik semacam kesimpulan bahwa pada hakikatnya belajar adalah proses penguasaan sesuatu yang dipelajari. Penguasaan itu dapat berupa memahami (mengerti), merasakan, dan dapat melakukan sesuatu.

B.     Arti Penting Belajar
            Belajar adalah istilah kunci yang paling vital dalam setiap usaha pendidikan, sehingga tanpa belajar sesungguhnya tidak pernah ada pendidikan. Perubahan dan kemampuan untuk berubah merupakan batasan dan makna yang terkandung dalam belajar. Karena kemampuan berubahlah, manusia terbebas dari kemandegan fungsinya sebagai khalifah di bumi. selain itu, dengan kemampuan berubah melalui belajar itu, manusia secara bebas dapat mengeksplorasi, memilih, dan menetapkan keputusan-keputusan penting untuk kehidupannya.
            Belajar merupakan proses dari perkembangan hidupa manusia. Dengan belajar, manusia melakukan perubahan-perubahan kualitatif individu sehingga tingkah lakunya berkembang. Semua aktivitas dan prestasi hidup manusia tidak lain adalah hasil dari belajar. Kita pun hidup menurut hidup dan bekerja menurut apa yang telah kita pelajari. Belajar itu bukan sekedar pengalaman. Belajar adalah suatu proses, dan bukan suatu hasil. Karena itu belajar berlangsung secara aktif dan integratif dengan menggunakan berbagai bentuk perbuatan untuk mencapai suatu tujuan.[6]
            Selanjutnya dalam perspektif agama pun (dalam hal ini Islam), belajar merupakan kewajiban bagi setiap muslim dalam rangka memperoleh ilmu pengetahuan sehingga derajad kehidupannya meningkat. Hal ini dinyatakan dalam surah Mujadalah: 11 yang artinya: ... niscaya Allah akan meningkatkan beberapa derajad kepada orang-orang dan “berilmu”. Ilmu dalam hal ini tentu saja harus berupa pengetahuan yang relevan dengan tuntutan zaman dan bermanfaat bagi kehidupan orang banyak.[7]
             
C.    Belajar dalam Perspektif Islam
            Agaknya tidak ada satu pun agama, termasuk Islam, yang menjelaskan secara rinci dan operasional mengenai proses belajar, proses kerja sistem memori (akal), dan proses dikuasainya pengetahuan dan ketrampilan oleh manusia. Namun Islam, dalam hal penekanannya terhadap signifikansi fungsi kognitif (akal) dan fungsi sensori (indera-indera) sebagai alat-alat penting untuk belajar, sangat jelas. Kata-kata kunci, seperti ya’qulun, yatafakkarun, yubshirun, yasma’un, dan sebagainya yang terdapat dalam Al-Qura’an, merupakan bukti betapa pentingnya penggunaan fungsi ranah cipta dan karsa manusia dalam belajar dan meraih ilmu pengetahuan.[8]
            Berikut ini kutipan firman-firman Allah dan Hadist Nabi SAW, baik yang secara eksplisit maupun implisit mewajibkan orang untuk belajar agar memperoleh ilmu pengetahuan.
a.       Allah berfirman, . . . apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya, hanya orang-orang yang berakallah yang mampu menerima pelajaran (Al-Zumar: 9)
Dalam ayat ini Allah berusaha menekankan perbedaan orang yang berilmu dengan yang tidak berilmu. Hal ini menunjukkan bahwa kedudukan orang yang berilmu itu berbeda dengan orang yang tidak berilmu. Orang yang berilmu itu mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. Dan hanya orang-orang yang mempunyai akallah yang bisa menerima pelajaran. Jadi orang yang tidak berakal susah untuk bisa menerima pelajaran yang diajarkan.
b.      Allah berfirman, Dan janganlah kamu membiasakan diri pada apa yang tidak kamu ketahui ... (Al-Isra: 36)
Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa kita sebagai umat manusia janganlah membiasakan diri untuk tidak mengetahui, dalam hal ini jangan sampai kita terbiasa tidak tahu pada hal-hal yang seharusnya kita bisa mencari tahunya, sehingga kita tahu. Tentu saja caranya yaitu dengan belajar.
c.       Dalam hadist riwayat Ibnu ‘Ashim dan Thabrani, Rasulullah SAW bersabda, Wahai sekalian manusia, belajarlah! Karena ilmu pengetahuan hanya didapat melalui belajar ... (Qadhawi, 1989)
Dalam hadist ini Rasulullah memerintahkan kita untuk belajar. Karena semua ilmu dan pengetahuan itu hanya bisa didapatkan dari belajar. Jadi, agar kita berilmu maka kita harus belajar.

D.    Ragam Alat Belajar
            Tuhan memberikan potensi kepada manusia yang bersifat jasmaniah dan rohaniah untuk belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemaslahatan umat manusia itu sendiri. Potensi-potensi tersebut terdapat dalam organ-organ fisio-psikis manusia yang berfunsi sebagai alat-alat penting untuk melakukan kegiatan belajar, diantaranya adalah sebagai berikut :
a.       Indera penglihat (mata), yakni alat fisik yang berguna untuk menerima informasi visual.
b.      Indera pendengar (telinga), yakni alat fisik yang berguna untuk menerima informasi verbal.
c.       Akal, yakni potensi kejiwaan manusia berupa sistem psikis yang kompleks untuk menyerap, mengolah, menyimpan, dan memproduksi kembali item-item informasi dan pengetahuan (ranah kognitif).[9]
Dalam surah Al-Nahl: 78 Allah berfirman yang artinya:
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan af-idah (daya nalar), agar kamu bersyukur.
Demikian pentingnya daya nalar akal dalam perspektif ajaran Islam, terbukti dengan dikisahkannya penyesalan para penghuni neraka karena keengganan dalam menggunakan akal mereka untuk memikirkan peringatan Tuhan.
Dalam surah Al-Mulk ayat 10 dikisahkan bahwa :
Dan mereka berkata: sekiranya kami mendengarkan dan memikirkan (peringatan Tuhan) niscaya kami tidak termasuk para penghuni neraka yang menyala-nyala.

                        Sehubungan dengan fungsi kalbu (qalb) bagi kehidupan psikologi manusia, perlu kita ketahui bahwa hati dalam perspektif disiplin ilmu apa  pun tidak memiliki fungsi mental seperti fungsi otak. Oleh karenanya, pengetahuan, ketrampilan, dan nilai-nilai moral yang terkandung dalam bidang studi yang bersangkutan seyogianya ditanamkan sebaik-baiknya ke dalam sistem memori para siswa, bukan ke dalam hati mereka.[10]



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
            Inti atau kesimpulan dari pendapat-pendapat mengenai pengertian belajar yang telah dikemukakan oleh banyak ahli yaitu, bahwa pada hakikatnya belajar adalah proses penguasaan sesuatu yang dipelajari. Penguasaan itu dapat berupa memahami (mengerti), merasakan, dan dapat melakukan sesuatu.
            Mengenai belajar dalam perpektif Islam, dalam Al-Quran disebutkan ada beberapa ayat yang menyebutkan dan menjelaskan mengenai keutamaan belajar dan perbedaan orang-orang yang berilmu dengan yang tidak berilmu. Ada juga hadist Nabi yang memerintahkan kita sebagai umat manusia untuk senantiasa belajar, karena tidak ada ilmu pengetahuan yang bisa kita dapatkan kecuali dengan belajar.


Daftar Pustaka

Prawira, Purwa Atmaja. Psikologi Pendidikan dalam Perspektif Baru, Yogyakarta: Ar-ruzz Media, 2012.
Syah, Muhibbin. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010.
Suryabrata, Sumadi. Psikologi Pendidikan, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995.
Soemanto, Wasty. Psikologi Pendidikan, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1998.





[1] Purwa Atmaja Prawira, Psikologi Pendidikan dalam Perspektif Baru (Yogyakarta: Ar-ruzz Media, 2012), hlm. 224.
[2] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010), hlm. 88.
[3] Ibid, hlm. 89.
[4] Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995), hlm. 247.
[5] Purwa Atmaja Prawira, Psikologi Pendidikan dalam Perspektif Baru (Yogyakarta: Ar-ruzz Media, 2012), hlm. 226.
[6] Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1998), hlm. 104.
[7] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010), hlm. 93-94.
[8]Ibid, hlm. 98-99.
[9] Ibid, hlm. 99.
[10] Ibid, hlm 101.