twitter
rss

# Apa itu pendidikan Anti-Realitas..??

Pendidikan Anti-Realitas adalah pendidikan yang orientasinya bukan secara langsung untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Artinya, pendidikan saat ini masih hanya berkutat pada teori-teori saja yang diberikan dan yang ditanamkan dalam proses belajar mengajarnya. Seharusnya, pendidikan itu bertujuan bagaimana menjawab kebutuhan masyarakat yang lebih berupa pemberdayaan skill dan keahlian yang bisa langsung menyatu dan menjawab problematika masyarakat tersebut. Sebagai contoh, Indonesia adalah negara agraris, sektor pertanian dan kelautan sangat besar, bagaimana cara memberdayakannya? Tentu saja dengan menghasilkan petani dan nelayan yang kompeten. Dengan cara apa? dengan cara menanamkan ilmu pengetahuan yang relevan dengan itu semua. Tapi kenyataan saat ini, sarjana pertanian pun tidak dicetak sebagai petani yang "handa", mereka lebih suka keluar dari jalurnya, misal sebagai pegawai perusahaan. Saya rasa ini salah satu problematika yang harus dipecahkan saat ini. Karena masih banyak lagi problem pendidikan yang lebih kompleks lagi.

# Kenapa hal ini terjadi di Indonesia..??

Saya memetakan ada tiga faktor yang mempengaruhi kenapa pendidikan anti-realitas ini terjadi di Indonesia:


1. Adanya perubahan sosial-masyarakat yang terus menerus.
Masyarakat yang terus menerus berubah secara cepat, memunculkan kebutuhan-kebutuhan yang semakin kompleks. Hal ini juga mempengaruhi kenapa pendidikan ini semakin jauh dalam menjawab kebutuhan masyarakat.


2. Adanya sistem pendidikan yang terus berubah.
Kita lihat bagaimana salah satu instrumen dalam pendidikan, yaitu kurikulum, yang terus diubah-ubah. Kurikulum tersebut sampai pada keberhasilan penyelenggaraannya tetapi sudah diganti-diganti dan diganti. Harusnya lakukanlah penyempurnaan-penyempurnaan dalam penyusunannya serta dalam pelaksanaannya, sehingga lebih efektif.


3. Adanya politik pendidikan yang “kurang sehat”.
Pendidikan tidak bisa lepas dari campur tangan politik pemerintahan. Pendidikan selalu dikelola oleh pemerintah yang tidak pernah lepas dari kepentingan-kepentingan. Sebetulnya negara ini punya banyak dana dalam pendidikan, dana APBN sebesar 20% digelontorkan, tetapi pada kenyataanya pendidikan di Indonesia ini masih mahal. Dari kepentingan-kepentingan pribadi ataupun kelompok ini lah yang mengakibatkan “tidak sehatnya” pendidikan di Indonesia ini.

# Bagaimana mengatasi problematika ini..??


Cara mengatasi problematika pendidikan anti-realitas ini adalah dengan cara memberikan porsi yang lebih dalam pendidikan yang mengajarkan dan menanamkan skill, keahlian, serta pengalaman-pengalaman yang memang dibutuhkan dalam masyarakat. Antara pendidikan yang menanamkan teori dan skill harus lebih diperhitungkan lagi.

Bahasa inggris merupakan hal terpenting dalam aspek kehidupan akademik. Berangkat dari kegelisahan saya yang harus lulus toefl dengan skor yang telah ditentukan (untuk menjadi syarat wisuda) , padahal skripsi telah selesai. Hal ini akan menghambat jika tidak dipersiapkan sejak dini. Presiapannya salah satunya dengan melakukan latihan-latihan soal toefl. Latihan tersebut ada juga ada yang dapat kita lakukan secara mandiri dan online. dan tentunya GRATIS plus pembahasan. Berikut ini daftar situs yang menyediakan latihan toefl online secara gratiss.. Let's try..!!!! ^_^

http://www.examenglish.com/TOEFL/toefl_structure_1.htm
http://www.graduateshotline.com/sampletoefl.html
http://www.4test.com/exam
http://www.ecomium.com/
http://www.englishstudydirect.com/
http://www.english-test.net/toefl
http://www.eslinusa.com/
http://www.examenglish.com/
http://www.gettoefl.comlearn4good.com/
http://www.onlearn.biz/
http://www.testmagic.com/
http://www.testwise.com/
http://www.ets.org/toefl[/url]

BAB Il
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Allah SWT sebagai pencipta telah menciptakan langit dan bumi, dan segala sesuatu yang ada di antara keduanya. Salah satu ciptaan Allah itu adalah manusia, yang diberi keistimewaan berupa kemampuan berpikir yang melebihi jenis makhluk lain yang sama-sama menjadi penghuni bumi. Kemampuan berpikir itulah yang diperintahkan Allah agar dipergunakan untuk mendalami wujud atau hakikat dirinya dan tidak semata-mata dipegunakan untuk memikirkan segala sesuatu di luar dirinya.
Demikianlah kenyataannya bahwa manusia tidak pernah berhenti berpikir, kecuali dalam keadaan tidur atau sedang berada dalam situasi diluar kesadaran. Manusia berpikir tentang segala sesuatu yang tampak atau dapat ditangkap oleh pancaindera bahkan yang abstrak sekalipun. Dari sejarah kehidupan manusia ternyata tidak sedikit usaha manusia dalam memikirkan wujud atau hakikat dirinya, meskipun sebenarnya masih lebih banyak yang tidak menaruh perhatian untuk memikirkannya. Dalam firman Allah surat Ar-Rum ayat 30 mengandung perintah agar manusia dalam mempergunakan pikirannya selalu dilandaskan pada iman yang terarah lurus pada agama Allah SWT. Demikian pula dalam berpikir fundamental tentang hakekat atau wujud dirinya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa arti hakekat manusia?
2.      Apa hakekat manusia menurut pandangan umum?
3.      Apa hakekat manusia meurut Islam?





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Arti Hakekat Manusia
      Menurut bahasa, hakikat berarti kebenaran atau sesuatu yang sebenar-benarnya atau asal segala sesuatu. Dapat juga dikatakan hakikat itu adalah inti dari segala sesuatu atau yang menjadi jiwa sesuatu. Dikalangan tasawuf orang mencari hakikat diri manusia yang sebenarnya, karena itu muncul kata-kata diri mencari sebenar-benar diri. Sama dengan pengertian itu mencari hakikat jasad, hati, roh, nyawa, dan rahasia.
      Manusia adalah makhluk paling sempurna yang pernah diciptakan oleh Allah swt. Kesempurnaan yang dimiliki manusia merupakan suatu konsekuensi fungsi dan tugas mereka sebagai khalifah di muka dumi ini. Al-Quran menerangkan bahwa manusia berasal dari tanah.
      Jadi hakekat manusia adalah kebenaran atas diri manusia itu sendiri sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT.[1]

B.                 Hakekat Manusia Menurut Pandangan Umum
      Pembicaraan manusia dapat ditinjau dalam berbagai perspektif, misalnya perspektif filasafat, ekonomi, sosiologi, antropologi, psikologi, dan spiritualitas Islam atau tasawuf, anatar lain :
a.      Dalam perspektif filsafat.
      Disimpulkan bahwa manusia merupakan hewan yang berpikir karena memiliki nalar intelektual. Dengan nalar intelektual itulah manusia dapat berpikir, menganalisis, memperkirakan, meyimpulkan, membandingkan, dan sebagainya. Nalar intelektual ini pula yang membuat manusia dapat membedakan antara yang baik dan yang jelek, antara yang salah dan yang benar.
1.      Hakekat Manusia
            Pada saat-saat tertentu dalam perjalanan hidupnya, manusia mempertanyakan tentang asal-usul alam semesta dan asal-usul keber-ada-an dirinya sendiri. Terdapat dua aliran  pokok  filsafat   yang  memberikan  jawaban  atas pertanyaan  tersebut,  yaitu Evolusionisme dan  Kreasionisme  (J.D.  Butler, 1968). Menurut Evolusionisme,  manusia adalah  hasil  puncak  dari  mata   rantai  evolusi  yang  terjadi  di  alam  semesta.  Manusia  sebagaimana  halnya alam  semesta ada  dengan sendirinya berkembang dari alam  itu sendiri, tanpa Pencipta. Penganut aliran ini antara lain Herbert Spencer, Charles Darwin, dan  Konosuke  Matsushita. Sebaliknya, Kreasionisme menyatakan bahwa asal usul manusia sebagaimana halnya alam semesta adalah ciptaan suatu Creative Cause atau Personality, yaitu Tuhan YME. Penganut aliran ini antara lain Thomas Aquinas dan Al-Ghazali. Memang  kita  dapat  menerima  gagasan  tentang  adanya  proses  evolusi  di  alam semesta termasuk pada  diri  manusia,  tetapi  tentunya kita   menolak pandangan  yang menyatakan adanya manusia di alam semesta semata-mata sebagai hasil evolusi dari alam itu sendiri, tanpa Pencipta.
2.      Wujud dan Potensi Manusia.
            Wujud  Manusia. menurut  penganut  aliran  Materialisme yaitu  Julien  de  La Mettrie bahwa  esensi  manusia  semata-mata  bersifat  badani,  esensi  manusia  adalah tubuh atau fisiknya.  Sebab itu, segala hal yang bersifat kejiwaan, spiritual atau rohaniah dipandangnya  hanya  sebagai  resonansi  dari  berfungsinya  badan  atau  organ  tubuh. Tubuhlah yang mempengaruhi jiwa. Contoh: Jika ada organ tubuh luka muncullah rasa sakit.  Pandangan  hubungan  antara  badan  dan  jiwa  seperti  itu  dikenal  sebagai Epiphenomenalisme (J.D. Butler, 1968). Bertentangan  dengan  gagasan  Julien  de  La  Metrie,  menurut Plato salah seorang  penganut  aliran  Idealisme -bahwa  esensi   manusia  bersifat  kejiwaan/spiritual/rohaniah. Memang  Plato  tidak   mengingkari  adanya  aspek  badan,  namun menurut  dia  jiwa  mempunyai  kedudukan  lebih  tinggi  daripada  badan.
b.     Dalam Perspektif Ekonomi.
      Dalam perspektif ekonomi, manusia adalah makhluk ekonomi, yang dalam kehidupannya tidak dapat lepas dari persoalan-persoalan ekonomi. Komunikasi interpersonal untuk memenuhi hajat-hajat ekonomi atau kebutuhan-kebutuhan hidup sangat menghiasi kehidupan mereka.
c.      Dalam Perspektif Sosiologi.
      Manusia adalah makhluk social yang sejak lahir hingga matinya tidak pernah lepas dari manusia lainnya. Bahkan, pola hidup bersama yang saling membutuhkan dan saling ketergantungan menjadi hal yang dinafikkan dalam kehidupan sehari-hari manusia.
d.     Dalam Perspektif Antropologi.
      Manusia adalah makhluk antropologis yang mengalami perubahan dan evolusi. Ia senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan yang dinamis.[2]
e.      Dalam Perspektif Psikologi.
      Manusia adalah makhluk yang memiliki jiwa. Jiwa merupakan hal yang esensisal dari diri manusia dan kemanusiaannya. Dengan jiwa inilah, manusia dapat berkehendak, berpikir, dan berkemauan.[3]

C.                Hakekat Manusia Menurut Pandangan Islam
      Penciptaan manusia terdiri dari bentuk jasmani yang bersifat kongkrit, juga disertai pemberian sebagian Ruh ciptaan Allah swt yang bersifat abstrak. Manusia dicirikan oleh sebuah intelegensi sentral atau total bukan sekedar parsial atau pinggiran. Manusia dicirikan oleh kemampuan mengasihi dan ketulusan, bukan sekedar refles-refleks egoistis. Sedangkan, binatang, tidak mengetahui apa-apa diluar dunia inderawi, meskipun barangkali memiliki kepekaan tentang yang sakral.[4]
      Manusia perlu mengenali hakekat dirinya, agar akal yang digunakannya untuk menguasai alam dan jagad raya yang maha luas dikendalikan oleh iman, sehingga mampu mengenali ke-Maha Pekasaan Allah dalam mencipta dan mengendalikan kehidupan ciptaanNya. Dalam memahami ayat-ayat Allah dalam kesadaran akan hakekat dirinya, manusia menjadi mampu memberi arti dan makna hidupnya, yang harus diisi dengan patuh dan taat pada perintah-perintah dan berusaha menjauhi larangan-larangan Allah. Berikut adalah hakekat manusia menurut pandangan Islam:
1.     Manusia adalah Makhluk Ciptaan Allah SWT.
      Hakekat pertama ini berlaku umum bagi seluruh jagat raya dan isinya yang bersifat baru, sebagai ciptaan Allah SWT di luar alam yang disebut akhirat. Alam ciptaan meupakan alam nyata yang konkrit, sedang alam akhirat merupakan ciptaan yang ghaib, kecuali Allah SWT yang bersifat ghaib bukan ciptaan, yang ada karena adanya sendiri.[5]
Firman Allah SWT mengenai penciptaan manusia dalam Q.S. Al-Hajj ayat 5 :

فانا خلقناكم من تراب ثم من نطفة ثم من علقة ثم من مضغة مخلقة وغير مخلقة لنبين لكم
       “Sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani menjadi segumpal darah, menjadi segumpal daging yang diberi bentuk dan yang tidak berbentuk, untuk Kami perlihatkan kekuasaan Tuhanmu.”
       Firman tersebut menjelaskan pada manusia tentang asal muasal dirinya, bahwa hanya manusia pertama Nabi Adam AS yang diciptakan langsung dari tanah, sedang istrinya diciptakan dari satu bagian tubuh suaminya. Setelah itu semua manusia berikutnya  diciptakan melalui perantaraan seorang ibu dan dari seorang ayah, yang dimulai dari setetes air mani yang dipertemukan dengan sel telur di dalam rahim.
       Hakikat pertama ini berlaku pada umumnya manusia di seluruh jagad raya sebagai ciptaan Allah diluar alam yang disebut akhirat. Alam ciptaan merupakan alam nyata yang konkrit sedangkan alam akhirat merupakan ciptaan yang ghaib kecuali Allah yang bersifat ghaib bukan ciptaan yang ada karena dirinya sendiri.
2.     Kemandirian dan Kebersamaan (Individualitas dan Sosialita).
      Kemanunggalan tubuh dan jiwa yang diciptakan Allah SWT , merupakan satu diri individu yang berbeda dengan yang lain. setiap manusia dari individu memiliki jati diri masing - masing. Jati diri tersebut merupakan aspek dari fisik dan psikis di dalam kesatuan. Setiap individu mengalami perkembangan dan berusah untuk mengenali  jati dirinya sehingga mereka menyadari bahwa jati diri mereka berbeda dengan yang lain.  Firman Allah dalam Q.S. Al-A’raf 189:

هو الذي خلقكم من نفس واحدة

                  “Dialah yang menciptakanmu dari satu diri”
       Firman tersebut jelas menyatakan bahwa sebagai satu diri (individu) dalam merealisasikan dirinya melalui kehidupan, ternyata diantaranya terdapat manusia yang mampu mensyukurinya dan menjadi beriman.
       Di dalam sabda Rasulullah SAW menjelaskan petunjuk tentang cara mewujudkan sosialitas yang diridhoiNya, diantara hadist tersebut mengatakan:
       “Seorang dari kamu tidak beriman sebelum mencintai kawannya seperti mencintai dirinya sendiri” (Diriwayatkan oleh Bukhari)
       “Senyummu kepada kawan adalah sedekah” (Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Baihaqi)
       Kebersamaan (sosialitas) hanya akan terwujud jika dalam keterhubungan itu manusia mampu saling menempatkan sebagai subyek, untuk memungkinkannya menjalin hubungan manusiawi yang efektif, sebagai hubungan yang disukai dan diridhai Allah SWT.[6] Selain itu manusia merupakan suatu kaum (masyarakat) dalam menjalani hidup bersama dan berhadapan dengan kaum (masyarakat) yang lain. Manusia dalam perspektif agama Islam juga harus menyadari bahwa pemeluk agama Islam adalah bersaudara satu dengan yang lain.[7]
3.     Manusia Merupakan Makhluk yang Terbatas.
       Manusia memiliki kebebasan dalam mewujudkan diri (self realization), baik sebagai satu diri (individu) maupun sebagai makhluk social, terrnyata tidak dapat melepaskan diri dari berbagai keterikatan yang membatasinya. Keterikatan atau keterbatasan itu merupakan hakikat manusia yang melekat dan dibawa sejak manusia diciptakan Allah SWT. Keterbatasan itu berbentuk tuntutan memikul tanggung jawab yang lebih berat daripada makhluk-makhluk lainnya. Tanggung jawab yang paling asasi sudah dipikulkan ke pundak manusia pada saat berada dalam proses penciptaan setiap anak cucu Adam berupa janji atau kesaksian akan menjalani hidup di dalam fitrah beragama tauhid. Firman Allah Q.S. Al-A’raf ayat 172 sebagai berikut:
واذ اخذ ربك من بني ادم من ظهورهم ذريتهم واشدهم على انفسهم الست بربكم قالوا بلى شهدنا
       “Dan ingat lah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian jiwa mereka, “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul Engkau Tuhan kami dan kami bersaksi.”
       Kesaksian tersebut merupakan sumpah yang mengikat atau membatasi manusia sebagai individu bahwa didalam kehidupannya tidak akan menyembah selain Allah SWT. Bersaksi akan menjadi manusia yang bertaqwa pada Allah SWT. Manusia tidak bebas menyembah sesuatu selain Allah SWT, yang sebagai perbuatan syirik dan kufur hanya akan mengantarkannya menjadi makhluk yang terkutuk dan dimurkaiNya.[8]













BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan
      Hakekat manusia adalah kebenaran atas diri manusia itu sendiri sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT. Tetapi terdapat dua sudut pandang yang dapat digunakan untuk memahami apa hakekat manusia itu, yaitu dari pandangan umum dan pandangan agama Islam.
      Hakekat manusia menurut pandangan umum mempunyai arti bermacam-macam, karena tedapat berbagai ilmu dan perspektif yang memaknai hakekat manusia itu sendiri. Seperti dalam perspektif filsafat menyimpulkan bahwa manusia merupakan hewan yang berpikir karena memiliki nalar intelektual. Dalam perspektif ekonomi mengatakan bahwa manusia adalah makhluk ekonomi. Perspektif Sosiologi melihat bahwa manusia adalah makhluk social yang sejak lahir hingga matinya tidak pernah lepas dari manusia lainnya. Sedangkan, perspektif antropologi berpendapat manusia adalah makhluk antropologis yang mengalami perubahan dan evolusi. Dan dalam perspektif psikologi, manusia adalah makhluk yang memiliki jiwa.
      Hakekat manusia menurut pandangan Islam:
a.       Manusia adalah Makhluk Ciptaan Allah SWT.
b.      Kemandirian dan Kebersamaan (Individualitas dan Sosialita).
c.       Manusia Merupakan Makhluk yang Terbatas.










Daftar Pustaka


Ahmad Norma (ed.). 1997. Hakikat Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hadari Nawawi. 1993. Pendidikan Dalam Islam. Surabaya: Al-Ikhlas.
Jacob & Basid Wahid. 1984. Evolusi Manusia dan Konsepsi Islam. Bandung: Risalah.
Hadari Nawawi. 1993. Hakekat Manusia Menurut Islam. Surabaya: Al-Ikhlas.
Mukhtar Solihin, & Rosihon Anwar. 2005. Hakikat Manusia “Menggali Potensi Kesadaran Pendidikan Diri, dan Psikologi Islam. Bandung: Pustaka Setia.
http://www.tugasku4u.com/2013/05/makalah-hakikat-manusia-menurut-islam.html (Diakses tanggal 5 Maret 2014)



[2] Jacob & Basid Wahid, Evolusi Manusia dan Konsepsi Islam (Bandung: Risalah, 1984), hal. 25.
[3] Mukhtar Solihin & Rosihon Anwar, Hakikat Manusia “Menggali Potensi Kesadaran Pendidikan Diri, dan Psikologi Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2005), hal. 9-10.
[4] Ahmad Norma (ed.), Hakikat Manusi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hal. 85.
[5] Hadari Nawawi, Pendidikan Dalam Islam (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993) hal. 40-41.
[6] Ibid., hal. 72-73.
[7] Hadari Nawawi. Hakekat Manusia Menurut Islam (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993), hal 71.
[8] Ibid., hal. 74-75.

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pendidikan adalah memanusiakan manusia yang bertujuan menganalisis perkembangan dan kemajuan sosial. Pendidikan juga merupakan sebuah proses sehingga pendidikan dapat dijadikan instrumen oleh individu untuk berinteraksi secara tepat di komunitas dan masyarakatnya. Pendidikan diselenggarakan untuk manusia Indonesia, sehingga manusia Indonesia memiliki kemampuan mengembangkan diri, meningkatkan mutu kehidupan, meningkatkan martabat dalam rangka mencapai tujuan nasional.
Dalam mencapai tujuan pendidikan tersebut dibutuhkan adanya peran dari pranata sosial untuk mendukung terselenggarakannya proses pendidikan yang diharapkan. Pranata sosial memiliki tujuan utama berupa kebutuhan khusus masyarakat. Misalnya: demi tercapainya sasaran lembaga, tiap lembaga mempunyai fungsi ganda yang harus dilaksanakan.
Dalam mewujudkan pendidikan yang bermutu dan berkualitas, harus ada hubungan yang harmonis antara sekolah, keluarga, masyarakat, serta lembaga-lembaga lain yang ada dalam masyarakat. Setiap unsur mempunyai peran dan fungsi masing-masing yang saling mendukung satu dengan yang lain, sehingga membentuk suatu kesatuan dalam sebuah sistem.

B.     Rumusan Masalah
a.       Apa visi, misi, dan tujuan Pendidikan Nasional ?
b.      Apa yang dimaksud pendidikan dan pranta social ?
c.       Apa fungsi keluarga, masyarakat dan pemerintah dalam pendidikan ?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Visi, Misi, dan Tujuan Pendidikan Nasional
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagai dasar hokum penyelenggaraan dan reformasi sistem pendidikan nasional memuat visi dan misi pendidikan nasional:
a.       Visi Pendidikan Nasional
Visi pendidikan nasional adalah mewujudkan sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.[1]
b.      Misi Pendidikan Nasional
Misi Pendidikan Nasional adalah:
1.      Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia.
2.      Membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara untuk sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar.
3.      Meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral.
4.      Meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, ketrampilan pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global.
5.      Memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.[2]
Berdasarkan visi dan misi pendidikan nasional tesebut, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[3]

B.     Pendidikan dan Pranata Sosial
Pendidikan diselenggarakan sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan anak didik yang berlangsung sepanjang hayat. Pendidikan dijadikan sebagai sarana pembelajaran bagi anak didik, sesungguhnya pendidikan tersebut mengajarkan kepada anak didik untuk menjadi anggota masyarakat yang baik dan senantiasa mentaati aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat.[4]
Kata pranata dapat diartikan sebagai seperangkat aturan berkisar kegiatan atau kebutuhan sosial tertentu. Pranata sebagai suatu sistem tingkah laku sosial bersifat resmi serta adat istiadat dan norma yang mengatur tingkah laku itu dan seluruh perlengkapan di berbagai suatu manusia dalam masyarakat. Pranata dapat pula diartikan sebagai suatu sistem pola sosial yang tersusun rapi dan relatif bersifat permanen serta mengandung perilaku tertentu yang kokoh dan terpadu demi pemuasan dan pemenuhan kebutuhan pokok.[5]
Pranata sosial adalah suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas untuk memenuhi kompleksitas kebutuhan dalam kehidupan masyarakat yang menekankan pada sistem tata kelakuan atau norma untuk memnuhi kebutuhan tersebut.[6] Pada setiap masyarakat, setidaknya terdapat lima lembaga/pranata sosial, yaitu keluarga, pendidikan, agama, ekonomi, dan pemerintah. Setiap pranata sosial mempunyai fungsi dan tanggung jawab masing-masing. Ciri-ciri dari pranata sosial yaitu:
a.       Memiliki lambang atau symbol.
b.      Memiliki tata tertib atau tradisi.
c.       Memiliki satu atau beberapa tujuan.
d.      Memiliki nilai.
e.       Memiliki usia lebih lama atau tingkat kekebalan tertentu.
f.       Memiliki alat kelengkapan.[7]
Pendidikan sebagai pranata sosial sudah tentu tidak bisa lepas pula dari ketergantungan saling silang budaya. Mengamatai dunia pendidikan tentu tidak cukup hanya dengan melihat masalah internal pendidikan, namun perlu pula melihat beberapa komponen lain, misalnya: sosial, budaya, ekonomi, politik, sejarah, dan filsafat.
Jadi, pendidikan dan pranata sosial adalah sesuatu yang bertalian satu sama lain. Beberapa kebutuhan manusia, seperti kebutuhan pendidikan, akan diperoleh lebih terstruktur dengan adanya lembaga sosial atau pranata sosial. Pranata sosial akan ada jika ada kebutuhan individu yang digabungkan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhannya. Pranata sosial melibatkan bukan saja pola aktivitas yang lahir dari segi sosial untuk memenuhi kebutuhan manusia, tetapi juga pola organisasi untuk melaksanakannya.

C.    Pendidikan dan Fungsi Keluarga, Masyarakat, dan Pemerintah
     Pendidikan merupakan salah satu fungsi yang harus dilakukan dengan sebaik-baiknya oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintah secara terpadu untuk mengembangkan fungsi pendidikan. Keberhasilan pendidikan bukan hanya dapat diketahui dari kualitas individu, melainkan juga keterkaitan erat dengan kualitas kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dilihat dari ruang lingkupnya, pendidikan terdiri dari tiga jenis, yaitu:
1.      Pendidikan dalam keluarga (informal), maksudnya pendidikan keluarga dan lingkungan.
     Keluarga merupakan bagian dari pranata sosial begitu juga dengan pendidikan. Pengaruh keluarga sangat mempengaruhi kepribadian anak, sebab waktu terbanyak anak adalah keluarga, dan di dalam keluarga itulah diletakkan sendi-sendi dasar pendidikan. Keluarga juga sangat penting sebagai wadah antara individu dan kelompok yang menjadi tempat pertama dan utama untuk sosialisasi anak.[8]
     Keluarga merupakan institusi sosial yang bersifat universal multifungsional, yaitu fungsi pengawasan, sosial, pendidikan, keagamaan, perlindungan, dan rekreasi. Fungsi-fungsi keluarga ini membuat interaksi antar anggota keluarga eksis sepanjang waktu. Waktu terus berjalan dengan membawa konsekuensi perkembangan dan kemajuan, sehingga perubahan yang terjadi di masyarakat berpengaruh pula di keluarga. Tetapi ada fungsi keluarga yang tidak bisa lapuk dan berubah, yaitu fungsi biologis, fungsi sosialisasi, dan fungsi afeksi. Dalam keluarga sangat berperan penting dalam pembentukan kepribadian anak, karena hal ini sangat penting dalam kehidupan sosial. Selain itu sebuah keluarga juga haru memperhatikan landasan moral dan nilai yang dapat dijadikan sebagai landasan untuk mendorong pendidikan dalam keluarga.[9]
2.      Pendidikan di sekolah (formal), maksudnya jalur pendidikan terstuktur dan berjenjang yang terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
     Anak yang telah menyelesaikan sekolah diharapkan sanggup melakukan pekerjaan sebagai mata pencaharian atau setidaknya mempunyai dasar ketrampilan untuk mencari nafkah. Bukan hanya masalah pekerjaan, tetapi sekolah sangat berpengaruh dalam kehidupan manusia. Fungsi pendidikan sekolah antar lain:
a.       Fungsi transmisi dan transformasi kebudayaan.
Fungsi transmisi terdiri dari transmisi pengetahuan dan ketrampilan. Dan fungsi transformasi diharapkan menambah pengetahuan dengan mengadakan penemuan-penemuan baru yang dapat membawa perubahan dalam masyarakat.
b.      Fungis peranan manusia sosial.
Sekolah diharapkan dapat membentuk manusia sosial yang dapat bergaul dengan sesame manusia, meskipun berbeda agama, suku, ekonomi, dan sebagainya.
c.       Fungsi membentuk kepribadian sebagai dasar ketrampilan.
Sekolah juga harus memperhatikan perkembangan jasmaniah melalui program olah raga, senam, dan kesehatan. Bukan hanya memperhatikan perkembangan intelektualnya saja.
d.      Sekolah mempersiapkan anak untuk suatu pekerjaan.
Setelah anak lulus sekolah diharapkan sanggup melaksanakan pekerjaan sebagai sumber mata pencaharian.
e.       Integrasi sosial.
Keutuhan sosial sangat penting untuk menciptakan keseimbangan hidup masyarakat.[10]
3.      Pendidikan dalam masyarakat (nonformal), maksudnya jalur pendidikan di luar formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
     Masyarakat dapat diartikan sebagai suatu bentuk dengan tata kehidupan sosial dengan tata nilai dan tata budaya sendiri. Dalam arti ini, masyarakat adalah wadah dan wahana pendidikan. Pendidikan yang bertujuan mempersiapkan anak didik menjadi masyarakat yang baik dengan mematuhi norma atau aturan berlaku dalam masyarakat serta memiliki peranan atau kontribusi bagi kehidupan masyarakat.[11] Melalui lembaga-lembaga masyarakat tersebut terjadi proses pendidikan yang dapat membentuk kepribadian manusia. Fungsi lembaga kemasyarakatan adalah:
a.       Memberikan pedoman kepada anggota masyarakat bagaimana harus bertingkah laku untuk bersikap dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat, terutama yang menyangkut kebutuhan.
b.      Menjaga keutuhan masyarakat.
c.       Memberikan pegangan pengendalian sosial, intinya sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggota-anggota masyarkatnya.[12]
     Selanjutnya, penguatan pendidikan sebagai pranata sosial pada konteks yang lebih luas menunjukkan masih banyak kendala. Pemerintah Indonesia melalui Kementrian Pendidikan RI dan Kementerian Agama RI, dalam mempercepat kualitas pendidikan di sekolah dan madrasah, juga mulai melakukan program e-books dan program belajar dengan e-learning. Media belajar yang menggunakan jasa internet tersebut, sudah barang tetu secara konseptual sangat medukung proses pembelajaran dan mempercepat peluang yang sama dalam pendidikan, misalnya dengan mendukung program pendidikan jarak jauh (distance education) seperti pendidikan terbuka (open education).[13]





BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan.
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pendidikan dan pranata sosial adalah sesuatu yang bertalian satu sama lain. Beberapa kebutuhan manusia, seperti kebutuhan pendidikan, akan diperoleh lebih terstruktur dengan adanya lembaga sosial atau pranata sosial. Pranata sosial akan ada jika ada kebutuhan individu yang digabungkan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhannya.
Pendidikan merupakan salah satu fungsi yang harus dilakukan dengan sebaik-baiknya oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintah secara terpadu untuk mengembangkan fungsi pendidikan. Keberhasilan pendidikan bukan hanya dapat diketahui dari kualitas individu, melainkan juga keterkaitan erat dengan kualitas kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara.













Daftar Pustaka

Abdullah Idi & Safarina, Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2011.
Bruce J. Cohen, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rineka Cipta, 1992.
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, Jakarta: Rajawali Press, 2006.
Padil & Triyo Suprayitno, Sosiologi Pendidikan, Malang: UIN-Maliki Press, 2010.
Undang-undang RI Nasional Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional



[1] Undang-undang RI Nasional Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Abdullah Idi & Safarina, Sosiologi Pendidikan (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2011), hal. 164.
[5] Bruce J. Cohen, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hal. 147.
[6] Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi (Jakarta: Rajawali Press, 2006), hal. 113.
[7] Abdullah Idi & Safarina, Sosiologi Pendidikan, hal.166.
[8] Padil & Triyo Suprayitno, Sosiologi Pendidikan (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), hal. 117.
[9] Ibid., hal.133.
[10] Ibid., hal.150-155.
[11] Abdullah Idi & Safarina, Sosiologi Pendidikan, hal. 171.
[12] Ibid., hal. 196-197.
[13] Ibid., hal. 173-174.