twitter
rss


Sudah hampir satu bulan aku berstatus ‘menikah’. Ya, akhirnya kami menikah. Hadiah terindah dari Allah itu kini benar-benar aku miliki. Setelah entah berapa liter air mata yang aku keluarkan untuk meredakan berbagai gejolak yang ada di hatiku untuk pernikahan ini. Dan itu semua, hanya Allah saja yang tahu. Perjalanan menuju gerbang pernikahan bukan lah hal yang mudah bagi kami.


Teringat ketika hari dimana kami akan mendaftarkan pernikahan kami ke kantor KUA. Pagi-pagi sekali ba’da sholat subuh eku mengendarai motorku menuju kota Yogyakarta. Aku menjemput calon suamiku di stasiun Tugu. Saat perjalanan pulang ke Temanggung, di dekat jembatan kali putih tiba-tiba badan kami berdua terpental dan terbaring di aspal. Satu yang aku lihat dan aku pikirkan, Aa ku dan pernikahanku. Seketika itu aku langsung berteriak memanggil namanya. Beruntung ia masih mampu berdiri dan menghampiriku yang tergeletak. Aku baru tersadar darah segar telah mengotori wajahnya yang tampan. Aku pun menangis. Beberapa jahitan harus tertanam di bibir dan dagunya. Wajahnya bengkak. Dan luka-luka di tangan kakinya. Lukaku, tidak aku rasakan lagi. Aku hanya memikirkannya. Akhirnya hari itu kami hanya menghabiskan waktu di klinik. Dan kejadian ini menjadi satu kenangan manis kami, kado dari Allah untuk kami agar senantiasa bersabar dan saling menjaga satu sama lain. J


Singkat cerita, hari yang dinantikan itu pun tiba. (Alhamdulillah luka-luka di wajah aa ku sudah sembuh hehe). Ijab qobul telah dilafadzkan dan saat itu juga kami telah sah menjadi sepasang suami dan istri. Pasangan yang akan menjalani sisa hidup bersama, sehidup dan semati. Yang mengharap sakinah mawadah dan rahmatNya. Aamiin. Proses agama, negara, serta adat telah kami lewati seharian. Lelah dan letih. Tapi malam itu kami berdua tertidur dengan penuh rasa syukur dan kebahagiaan.

Dan ternyata, pernikahan bukan lah akhir dari perjalanan itu, tapi pernikahan adalah awal dari perjalanan yang sesungguhnya. Rencana awal setelah menikah memang kami akan meniti karir di kota Jogja, tidak kembali lagi ke Lampung, tempat dimana kami dipertemukan. Biarlah pulau Sumatera menjadi saksi sejarah pertemuan kami. Tapi pulau Jawa tetap lah rumah kami. Tempat dimana cinta kami dipersatukan dalam ikatan pernikahan dan tempat dimana kami menjalani sisa hidup bersama.


Saat masih berada di Lampung suamiku memang sudah mendapat tawaran mengajar di salah satu lembaga pendidikan homeschooling di Yogyakarta. Akhinya memaksa kami mencari rumah untuk tempat kami berdua tinggal. Seminggu pertama sejak pindah ke rumah baru, aku 100% menjadi ibu RT, alias ibu rumah tangga. Memasak, membersihkan rumah, dan menyiapkan semua keperluan suamiku ketika akan berangkat kerja. Peranku sebagai seorang istri semuanya begitu aku nikmatii. Tapi ditinggal dirumah sendiri ketika suami kerja, membuatku bosan. Memang aku mengisi itu semua dengan belajar berbagai resep masakan, tapi aku juga ingin melihat dunia luar. Aku rindu mengajar.

Tak berapa lama, aku diterima di sebuah sekolah dimana aku akan kembali berbagi ilmu dengan anak-anak seperti yang aku rindukan. Sekolah baru, lingkungan baru, anak-anak baru, dan suasana baru. Jadwal baru dirumahku pun juga segera aku susun. Selain tugasku menjadi ‘ibu RT’ aku juga punya tugas menjadi seorang guru. Dan aku harus pandai mengatur waktuku agar semuanya berjalan dengan baik. Beruntung aku memiliki suami yang dengan senang hati membantuku mengerjakan perkerjaan rumah.

Tanpa aku minta suamiku setiap hari mau menyapu halaman kami yang lumayan luas dengan sampah daun yang begitu banyak, karena dihalaman rumah kami ada beberapa pohon rambutan yang besar. Ia juga dengan senang hati membuatkan ku segelas teh favoritku ketika pagi atau sore hari ketika aku masih mengerjakan pekerjaan yang lainnya. Bagi kami ini bukan lah tentang siapa yang berhak dan berkewajiban melakukannya, tapi bagi kami ini lah yang namanya pasangan. Pasangan yang kompak, saling membantu dan berkerja sama dengan ikhlas tanpa merasa direndahkan atau merendahkan. Sama persis seperti impianku dulu yang ingin memiliki sebuah keluarga dengan prinsip ‘friendship’. Ya, pernikahan adalah persahabatan yang paling indah.


Untuk suamiku tercinta, Hilman Firdaus. Terima kasih telah melakukan semuanya untuk neng. Terima kasih sudah dengan senang hati meringankan pekerjaan neng. Neng tahu sebenarnya ini lah bentuk dan bukti kecil dari rasa cinta aa yang begitu besar pada neng. Aa, yang neng tahu, tidak semua laki-laki mau melakukan ini untuk istrinya. Dan aa sudah melakukan yang terbaik untuk neng, untuk keluarga kita. Semoga Allah membalas semua rasa cinta aa ke neng dengan pahala, rezeki, serta keberkahan yang berlimpah. Sehat terus ya a, panjang umur. Kalau capek, bersandarlah dibahu neng, tidak usah memaksakan diri. Sekali lagi mari belajar bersama agar rumah tangga kita selalu harmonis dan romantis di jalanNya. I love you very very much suamikuu. J



Allah ku, terima kasih untuk hadiah terindah yang tak ternilai untukku ini. Terima kasih, ia benar-benar menjadi milikku sekarang. Bimbing kami, beri petunjuk langkah kami, dan bersamai kami selalu. Karena sakinah mawadah warahmah hanya berada padaMu. Aamiin.