Satu jam yang sangat berarti
dalam hidupku ini seharusnya harus ku manfaatkan untuk menyelesaikan tugas
akhirku. Tapi pikiranku tidak mau fokus, malah memikirkan pengalaman pendakian
ku bulan kemarin yang belum sempat aku abadikan dalam sebuah tulisan. Untuk
mengobati kegalauanku itu, sekarang waktunya..
Tanggal 19 Oktober 2014, ku mulai
perjalananku menuju basecamp Merapi di jalur Boyolali. Setelah semalam temanku,
Danu, leader dari pendakian Merbabuku ditahun sebelumnya, mengajakku untuk naik
ke Merapi. Aku pikir malam minggu ini daripada hanya ku habiskan untuk
bermalas-malasan di kos, mending aku mengeksplore keagungan Tuhan lewat erjalanan
ini. Akhirnya, siang tanggal 1 Suro kami berangkat berlima, Aku, Danu, Putri, Rosifah, dan Ucup. Aku baru ingat kalau aku juga punya satu misi ketika dipuncak
nanti.
Jam setengah 6 kami sudah mulai
mendaki lewat Jalur Sellow. Seperti biasa ada banyak pendaki yang baru turun
dan akan naik sama seperti denganku. Sebenarnya aku tidak begitu bersemangat
kali ini, tapi aku hanya ingin mengisi waktu luangku dengan pengalaman baru. 1
jam pertama jalan masih berupa ‘trasahan’ yang sangat menanjak. Oke, aku masih
bisa melewatinya. Ini belum ada apa-apanya. Jalan selanjutnya adalah jalanan
berdebu tebal yang luar biasa sepertinya jika malam itu harus turun hujan
karena pasti akan sangat licin, tapi Allah masih sayang aku. Setengah perjalanan
selanjutnya jalanan berupa pasir dan batu/rock yang juga licin dan harus
berhati-hati jika harus menapakkan kaki. Banyak medan dimana aku harus memanjat
tebing yang kanan kirinya adalah jurang. Beruntunglah karena pendakian malam
hari, sehingga aku tak melihat betapa ngerinya jika terlihat disiang hari. Itu juga
mungkin salah satu kelebihan perjalanan pendakian malam hari.
Hari sudah semakin larut dan
udara sudah semakin menggigit tulang-tulang, dingiiiiiiiin.. akhirnya jam 12
malam kami tiba di Pasar Bubrah, saat tiba disana ternyata sudah sangat ramai
oleh tenda-tenda para pendaki, dan disana juga kami mendirikan “domp” dibalik
batu besar untuk berisitirahat. Udara malam itu benar-benar dingin, hingga
kakiku kram. Tapi kalau aku boleh membandingkan dengan di Merbabu, aku rasa
lebih parah saat aku diMerbabu, karena waktu itu disana sedang badai. Aku paksa
mataku untuk terpejam, meski tidak nyenyak tapi paling tidak aku bisa
mengistirahatkan badanku.
Ketika matahari mulai menyingsing,
subuh telah menyapa, aku dibangunkan untuk mulai melanjutkan perjalanan. Jujur aku
begitu malas bangun, rasanya aku ingin tidur saja, tapi aku paksa diriku
sendiri untuk bangun dan keluar. And do you know? Apa yang aku lihat
sungguh amazing, luar biasaaaa... ketika ku buka tirai, aku disamput puncak
gunung Merapi yang begitu megah, gagah, dan perkasa, indah, cerah. Dan aku
sedikit terkaget dengan yang namanya pasar bubrah, ternyata adalah padang
bebatuan yang sangat luas. Sejauh mata memandang, batu-batu besar terhampar,
kerikil dan bebatuan menutui gunung ini. Dan aku harus naik ke bukit itu???? Tidaaakkk..
permukaan bukit yang menanjaknya 80 derajat itu??? Aku harus berjalan ke atas??
Aku terus meyakinkan diriku kalau aku bisa, meski aku harus merangkak dan
merangkak, dan akhirnya melorot lagi, aku tetap mencobanya.
Yah, manusia hanya berkewajiban
untuk berusaha, hasilnya tetap tergantung Allah. “Alibi” :D .. aku akhirnya
menyerah dipertengahan jalan menuju puncak itu.aku turun dan akhirnya hanya
menikmati pemandangan dengan duduk dibatu besar di pasar bubrah itu. Aku melihat
awan-awan beterbangan. Sepertinya begitu lembut. Aku ingin sekali meyentuhnya. Tapi
tetap, ia terlalu tinggi untuk ku gapai, seperti kamu yang tak pernah bisa aku
raih. Alaaaah. :D Oh yaaa, ini misiku, mengucapkan Happy Birthday ke salah satu sahabatku..
Jam 10 kami mulai bersiap-siap
turun. Dan alam membayar perjalananku dengan keindahannya yang begitu menggoda.
Puncak Merbabu menyapaku tepat didepan puncak aku berdiri sekarang. Aku katakan
pada diriku, bahwa aku pernah menakhlukkan puncakmu.
Perjalanan turun dari
Merapi memang sangat lah ekstream. Seperti turun dari eskalator yang bahkan
kita tidak bisa melihat seperti apa keadaan yang ada dibawah, karena terlalu
curam. Beberapa kali aku terpeleset bebatuan, meskipun sendal gunungku sudah
sangat baru dan geriginya masih lengkap. Yah, tidak tanggung-tanggung aku harus
melorot-melorot dan melorot, meluncur meluncur dan meluncur seperti
bermain prosotan. Aku sudah tidak peduli
pendangan orang, yang aku tahu aku hanya tidak ingin mengambil resiko. Hehe..
meskipun aku harus merelakan celanaku yang sudah sangat setia menemani setiap
pendakianku, yah, akhirnya dia bolong. Tas ku? Sudah tak berwujud. Semuanya debu.
Entah berapa kali orang bertanya padaku, “habis jatuh ya mbak?”. Aku jawab, “
Nggak mas, cuma sengaja offroad, hiihii.” Malu yakiiiin..
Tapi ini lah cerita perjalananku
di Gunung Merapi. Meskipun kali ini aku masih belumbersama orang spesial, tapi
aku berharap, yakiiin ngarep banget, semoga diperjalanan pendakianku
selanjutnya, aku bisa melewatinya bersama suami tercinta. Amiiiin... :)