twitter
rss

Calon istriku tercinta,

Kau tahu betapa hidup dari sudut pandangku memiliki misteri-misteri yang tidak bisa dipecahkan dengan ilmu pengetahuan paling canggih sekalipun; bahwa hidup memiliki pertanyaan-pertanyaan yang tidak memiliki jawaban sehingga tidak perlu lagi dipertanyakan; bahwa dengan ada misteri itulah kehidupan menjadi benar-benar sebuah kehidupan.

Pun demikian ketika pada suatu hari aku mengatakan kepadamu: betapa aku tidak memikirkan sama sekali tentang pernikahan; betapa aku tidak mempunyai rencana apa-apa sehingga mungkin paling cepat dua tahun lagi baru memikirkan pernikahan.

Perasaaan, tak ubahnya kehidupan, tak bisa sembarangan diperkirakan ke mana arah berjalannya, dan dengan demikian tidak diketahui juga tujuannya. Sama seperti aku yang tidak tahu bahwa sepekan berselang setelah mengatakan semua itu padamu, aku justru mengungkapkan rencana untuk menikahimu.

Teori apapun yang aku katakan kepadamu sepekan sebelumnya runtuh tak bersisa, bertekuk lutut dibawah kaki perasaan: sebagaimana Pascal pernah berkata, "hati memiliki pikirannya sendiri yang tidak bisa dimengerti oleh akal". Ketika pertimbangan akal mengatakan aku belum siap, ketika perhitungan matematis-ekonomis aku belum mapan, ketika traumatis-psikologis menakut-nakuti; perasaanku mengatakan, " bukan tentang siap atau tidak siap, mapan atau tidak mapan, takut atau berani: menikah adalah tentang waktu; ketika sudah waktunya, apapun yang terjadi, kau pasti akan menikah."

Aku membuang jauh-jauh semua teori tentang pernikahan: tentang kemapanan, tentang kedewasaan, tentang perawatan diri, tentang pesta, tentang tamu undangan, tentang panggung, tentanvlg bulan madu, tentang kehidupan pasca pernikahan. Sebagai orang yang memandanga hidup penuh dengan ketidakpastian, aku tidak pernah benar-benar memikirkan apa yang akan terjadi di depan nanti. Semua bisa terjadi, dan aku hanya perlu menyerahkan diriku pada kehidupan.

Dan bahkan di setiap kepastian hidup selalu ada yang pasti: bahwa aku menyayangimu sepenuh hatiku. Meskipun mungkin kelak aku akan selalu merepotkanmu dengan kebiasaan-kebiasaan yang kurang elegan: mandi sehari sekali, baju yang tidak pernah disetrika, rambut yang tidak disisir, wajah yang kusut, penampilan yang tidak pernah rapi. Aku jarang menghabiskan banyak waktu untuk merawat diri karena bagiku itu adalah hal kesekian yang perlu aku pikirkan.

Aku juga mungkin akan merepotkanmu dengan isi pikiranku yang seringkali bertentangan dengan kaidah umum: pesimisme akut, sinisme kronis, asosial stadium empat; yang kesemuanya itu menghambat perkembanganku sendiri. Padahal di sisi yang berseberangan, kau, calon istriku, adalah orang yang selalu penuh semangat, penuh optimisme, tidak canggung untuk melebur bersama orang-orang baru. Bahwa kau selalu mengatakan aku ini orang hebat, aku tidak sepenuhnya percaya; tetapi ketika kau mengatakan bahwa kau mencintaiku, aku bisa melihatnya dengan jelas dimataku.

Aku ingat tempo hari kau pernah menulis: "berangkat dari masing-masing pelarian, akhirnya Allah mempertemukan kami untuk saling menjadi tempat pulang dan kembali." Sebentar lagi kau akan menjadi tempatku pulang, pun demikian dengan aku yang akan mnejadi tujuanmu kembali. Dan sekarang, dengan semakin siapnya kita untuk maju ke pelaminan, aku ingin mengatakan ini padamu: kita berdua akan menakhlukan dunia bersama-sama sebagai pasangan suami istri terhebat. Itulah janjiku. Aku tidak peduli kata-kataku berlebihan, karena aku percaya apapun bisa kita lakukan selama kita bisa melakukannya bersama-sama.

Sementara persiapan kita menuju pelaminan semakin mendekat, biarkanlah aku mempersiapkan persembahan khusus yang akan aku sampaikan kepadamu di malam pertama kita sebagai suami istri nanti: Hafalan Al-Qur'an 3 juz. Sedikit, memang. Tapi ini lebih baik daripada meminangmu hanya dengan 'bissmillah'.

Semoga kita berbahagia.

Calon suamimu tercinta,
Hilman Firdaus