Sudah
hampir satu bulan aku berstatus ‘menikah’. Ya, akhirnya kami menikah. Hadiah
terindah dari Allah itu kini benar-benar aku miliki. Setelah entah berapa liter
air mata yang aku keluarkan untuk meredakan berbagai gejolak yang ada di hatiku
untuk pernikahan ini. Dan itu semua, hanya Allah saja yang tahu. Perjalanan
menuju gerbang pernikahan bukan lah hal yang mudah bagi kami.
Teringat
ketika hari dimana kami akan mendaftarkan pernikahan kami ke kantor KUA.
Pagi-pagi sekali ba’da sholat subuh eku mengendarai motorku menuju kota
Yogyakarta. Aku menjemput calon suamiku di stasiun Tugu. Saat perjalanan pulang
ke Temanggung, di dekat jembatan kali putih tiba-tiba badan kami berdua
terpental dan terbaring di aspal. Satu yang aku lihat dan aku pikirkan, Aa ku dan
pernikahanku. Seketika itu aku langsung berteriak memanggil namanya. Beruntung
ia masih mampu berdiri dan menghampiriku yang tergeletak. Aku baru tersadar
darah segar telah mengotori wajahnya yang tampan. Aku pun menangis. Beberapa
jahitan harus tertanam di bibir dan dagunya. Wajahnya bengkak. Dan luka-luka di
tangan kakinya. Lukaku, tidak aku rasakan lagi. Aku hanya memikirkannya.
Akhirnya hari itu kami hanya menghabiskan waktu di klinik. Dan kejadian ini
menjadi satu kenangan manis kami, kado dari Allah untuk kami agar senantiasa
bersabar dan saling menjaga satu sama lain. J
Singkat
cerita, hari yang dinantikan itu pun tiba. (Alhamdulillah luka-luka di wajah aa
ku sudah sembuh hehe). Ijab qobul telah dilafadzkan dan saat itu juga kami
telah sah menjadi sepasang suami dan istri. Pasangan yang akan menjalani sisa
hidup bersama, sehidup dan semati. Yang mengharap sakinah mawadah dan
rahmatNya. Aamiin. Proses agama, negara, serta adat telah kami lewati seharian.
Lelah dan letih. Tapi malam itu kami berdua tertidur dengan penuh rasa syukur
dan kebahagiaan.
Dan
ternyata, pernikahan bukan lah akhir dari perjalanan itu, tapi pernikahan
adalah awal dari perjalanan yang sesungguhnya. Rencana awal setelah menikah memang
kami akan meniti karir di kota Jogja, tidak kembali lagi ke Lampung, tempat
dimana kami dipertemukan. Biarlah pulau Sumatera menjadi saksi sejarah
pertemuan kami. Tapi pulau Jawa tetap lah rumah kami. Tempat dimana cinta kami
dipersatukan dalam ikatan pernikahan dan tempat dimana kami menjalani sisa
hidup bersama.
Saat
masih berada di Lampung suamiku memang sudah mendapat tawaran mengajar di salah
satu lembaga pendidikan homeschooling di Yogyakarta. Akhinya memaksa
kami mencari rumah untuk tempat kami berdua tinggal. Seminggu pertama sejak
pindah ke rumah baru, aku 100% menjadi ibu RT, alias ibu rumah tangga. Memasak,
membersihkan rumah, dan menyiapkan semua keperluan suamiku ketika akan
berangkat kerja. Peranku sebagai seorang istri semuanya begitu aku nikmatii.
Tapi ditinggal dirumah sendiri ketika suami kerja, membuatku bosan. Memang aku
mengisi itu semua dengan belajar berbagai resep masakan, tapi aku juga ingin
melihat dunia luar. Aku rindu mengajar.
Tak
berapa lama, aku diterima di sebuah sekolah dimana aku akan kembali berbagi
ilmu dengan anak-anak seperti yang aku rindukan. Sekolah baru, lingkungan baru,
anak-anak baru, dan suasana baru. Jadwal baru dirumahku pun juga segera aku
susun. Selain tugasku menjadi ‘ibu RT’ aku juga punya tugas menjadi seorang
guru. Dan aku harus pandai mengatur waktuku agar semuanya berjalan dengan baik.
Beruntung aku memiliki suami yang dengan senang hati membantuku mengerjakan
perkerjaan rumah.
Tanpa
aku minta suamiku setiap hari mau menyapu halaman kami yang lumayan luas dengan
sampah daun yang begitu banyak, karena dihalaman rumah kami ada beberapa pohon
rambutan yang besar. Ia juga dengan senang hati membuatkan ku segelas teh favoritku
ketika pagi atau sore hari ketika aku masih mengerjakan pekerjaan yang lainnya.
Bagi kami ini bukan lah tentang siapa yang berhak dan berkewajiban
melakukannya, tapi bagi kami ini lah yang namanya pasangan. Pasangan yang
kompak, saling membantu dan berkerja sama dengan ikhlas tanpa merasa
direndahkan atau merendahkan. Sama persis seperti impianku dulu yang ingin
memiliki sebuah keluarga dengan prinsip ‘friendship’. Ya, pernikahan adalah
persahabatan yang paling indah.
Untuk
suamiku tercinta, Hilman Firdaus. Terima kasih telah melakukan semuanya untuk
neng. Terima kasih sudah dengan senang hati meringankan pekerjaan neng. Neng
tahu sebenarnya ini lah bentuk dan bukti kecil dari rasa cinta aa yang begitu
besar pada neng. Aa, yang neng tahu, tidak semua laki-laki mau melakukan ini
untuk istrinya. Dan aa sudah melakukan yang terbaik untuk neng, untuk keluarga
kita. Semoga Allah membalas semua rasa cinta aa ke neng dengan pahala, rezeki,
serta keberkahan yang berlimpah. Sehat terus ya a, panjang umur. Kalau capek,
bersandarlah dibahu neng, tidak usah memaksakan diri. Sekali lagi mari belajar
bersama agar rumah tangga kita selalu harmonis dan romantis di jalanNya. I love
you very very much suamikuu. J
Allah
ku, terima kasih untuk hadiah terindah yang tak ternilai untukku ini. Terima
kasih, ia benar-benar menjadi milikku sekarang. Bimbing kami, beri petunjuk
langkah kami, dan bersamai kami selalu. Karena sakinah mawadah warahmah hanya berada
padaMu. Aamiin.
12 Agustus 2016 pukul 13.06
Pngen nangis ....