BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Akibat dari proses
pendidikan adalah mewariskannya nilai budaya kepada agenerasi muda dan
mengembangkannya. Oleh karena itu, pendidikan Islam pada hakikatnya adalah
mewariskan nilai budaya Islam kepada generasi muda dan mengembangkannya
sehingga mencapai dan memberikan manfaat maksimal bagi hidup dan kehidupan
manusia sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Islam adalah agama
fitrah, agama yang berdasarkan potensi dasar manusiawi dengan landasan petunjuk
Allah. Pendidikan Islam berarti menumbuhkan dan mengembangkan potensi fitrah
tersebut, dan mewujudkannya dalam sistem budaya manusiawi yang Islami. Budaya
manusia semakin hari semakin berkembang, begitupun dengan sistem pendidikan
Islam yang harus mampu menjawab semua tantangan perkembangan tersebut.
Sejak lahirnya
agama Islam, lahirlah pendidikan Islam. Pendidikan dan pengajaran Islam itu
terus tumbuh dan berkembang pada masa khlaifah-khalifah Rasyidin dan masa
Umayyah. Dalam makalah ini akan diuraikan bagaimana perkembangan pendidikan
dari masa Rasulullah sampai dengan masa Abbasiyah atau biasa kita kenal dengan
periode klasik. Kurikulum pendidikan Islam pada masa klasik tentu saja suatu
sistem pendidikan yang klasik, yang berbeda dengan sistem pendidikan Islam pada
masa ini.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
pendidikan Islam pada masa Rasulullah?
2.
Bagaimana
pendidikan Islam pada masa Khulafa’ Al-Rasyidin?
3.
Bagaimana
pendidikan Islam pada masa bani Ummayah?
4.
Bagaimana
pendidikan Islam pada masa bani Abbasiyah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pendidikan Islam pada Masa Rasulullah
Pendidikan Islam
pada masa Nabi Muhammad SAW ini dibagi kedalam dua fase, yaitu fase Makkah dan fase
Madinah.
a.
Fase
Makkah
Rasulullah tinggal di Makkah sejak menjadi
Nabi selama 12 tahun 5 bulan dan 21 hari. Pengajaran yang diberikan Nabi selama
itu adalah menyampaikan wahyu Allah, Al-Quran.[1] Nabi
Muhammad menerima wahyu yang pertama di gua Hira’ di Makkah pada tahun 610 M.
Wahyu tersebut tertulis dalam Q.S. Al-Alaq ayat 1-5 yang artinya, “Bacalah
(ya Muhammad) dengan nama Tuhanmu yang telah menjadikan (semesta alam). Dia
menjadikan Maha Pemurah. Yang
mengajarkan dengan pena. Mengajarkan kepada manusia apa yang belum
diketahuinya.”[2]
Kemudian disusul wahyu kedua yang tertulis
dalam Q.S. Al-Muddassir ayat 1-7 yang artinya, “Wahai orang yang berkemul
(berselimut) ! Bangunlah, lalu berilah peringatan ! Dan agungkanlah Tuhanmu.
Dan bersihkanlah pakaianmu. Dan tinggalkanlah segala (perbuatan) yang keji. Dan
janganlah engkau (Muhammad) memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang
lebih banyak. Dan karena Tuhanmu, bersabarlah.”[3]
Dalam kedua wahyu yang turun tersebut
dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan Islam terdiri dari empat macam :
1.
Pendidikan
keagamaan.
Yaitu
hendaklah membaca dengan nama Allah semata, jangan persekutukan dengan nama
berhala, karena Tuhan itu Maha Besar dan Maha Pemurah. Oleh sebab itu,
hendaknya berhala harus dilenyapkan.
2.
Pendidikan
‘akliyah dan ilmiyah.
Yaitu
mempelajari kejadian manusia dari segumpal darah dan kejadian alama semesta.
Alam akan mengajarkan semua itu kepada orang-orang yang mau menyelidiki,
meneliti, dan membahasnya. Untuk mempelajari hal-hal itu haruslah dengan banyak
membaca dan menyelidiki serta memakai pena untuk mencatatnya.
3.
Pendidikan
akhlak dan budi pekerti.
Yaitu
hendaknya si pendidik hendaknya suka memberi atau emngajar tanpa mengharapkan
balasan dari orang yang menerima pemberian itu, melainkan karena Allah
semata-mata dan mengharapkan keridhaanNya. Begitu juga si pendidik harus
berhati sabar dan tabah dalam melakukan tugasnya.
4.
Pendidikan
jasmani (kesehatan).
Yaitu
mementingkan kebersihan, bersih pakaian, bersih badan dan bersih tempat
kediaman. Terutama si pendidik harus bersih pakaian, suci hati dan baik budi
pekertinya, supaya menjadi contoh dan tiru teladan bagi anak-anak didiknya.[4]
Intisari ajaran Nabi di Makkah itu adalah
menerangkan pokok-pokok agama Islam, seperti beriman kepada Allah, rasul-Nya
dan hari akhir. Serta mengajarkian amal ibadah, yaitu sembahyang. Saat di
Makkah, ajaran zakat belum begitu diperinci. Selain itu diajarkan juga mengenai
berakhlak mulia dan berkelakuan baik dan melarang berkelakuan buruk.
Singkatnya, pendidikan dan pengajaran yang
diberikan Nabi selama di Makkah adalah pendidikan agama dan akhlak. Menanamkan
nilai-nilai tauhid kedalam jiwa setiap
individu muslim. Serta menganjurkan kepada manusia supaya mempergunakan akal
pikirannya untuk memperhatikan kejadian manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan
alam semesta.
b.
Fase
Madinah
Setelah Nabi serta sahabat-sahabatnya
(Muhajirin) hijrah ke Madinah, usaha pertama yang Nabi lakukan adalah
mendirikan masjid. Nabi bekerja membangun masjid bersama dengan
sahabat-sahabatnya.[5]
Masjid tersebut didirikan dengan tujuan karena beliau memerlukan suatu tempat
khusus di tengah-tengah umatnya sebagai pusat kegiatan, sekaligus sebagai
lambang persatuan dan kesatuan antara kedua kelompok masyarakat yang mempunyai
latar belakang kehidupan yang berbeda.[6] Di
masjid itu lah Nabi mendirikan shalat berjamaah, bahkan Nabi membacakan
Al-Qur’an dan memberikan pendidikan mengenai ajaran Islam, serta di masjid itu
lah tempat Nabi bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya.
Pendidikan Islam di Madinah lebih menitik
beratkan kepada pendidikan sosial dan politik. Pendidikan pertama yang
dilakukan oleh Nabi adalah memperkuat persatuan kaum muslimin dan menghapuskan
segala bentuk permusuhan dan persekutuan. Adapun pendidikan mengenai
kesejahteraan sosial juga disampaikan oleh Nabi. Bahwa beliau mengajarkan
kepada mereka agar banyak memiliki kekayaan yang berlebih agar dapat bersedekah
dan dapat memberi pertolongan kepada fakir miskin. Ia melarang pemborosan dan
makan berlebihan.
B.
Pendidikan Islam pada Masa Khulafa Al-Rasyidin
Tingkat pertama
adalah kuttab, yaitu tempat anak - anak belajar menulis dan membaca/menghafal
Al-Qur’an serta belajar pokok – pokok agama Islam. Para sahabat yang memiliki
pengetahuan keagaamaan membuka mejelis pendidikan masing-masing, lembaga
pendidikan kuttab mencapai tingkat kemajuan yang berarti pada masa Abu Bakar.[7]
Setelah taman
Al-Qur’an kemudian mereka meneruskan pelajaran ke masjid. Pelajaran di masjid
itu terdiri dari tingkat menengah dan tinngkat tinggi. Pada tingkat menengah
gurunya belumlah ulama besar, sedangkan pada tingkat tingginya gurunya
merupakan ulama yang ilmunya sudah dalam dan termahsyur kealiman dan
kesalehannya.[8]
Umumnya pelajaran
diberikan guru kepada murid-murid seorang demi seorang, baik di Kuttab atau di
masjid pada tingkat menengah. Pada tingkat tinggi pelajaran diberikan oleh guru
dalam satu halaqah yang dihadiri oleh pelajar bersama-sama.
Ilmu-ilmu yang
diajarkan pada Kuttab pada awalnya adalah materi-materi sederhana, yaitu :
a.
Belajar
membaca dan menulis.
b.
Membaca
Al-Qur’an dan menghafal.
c.
Belajar
pokok-pokok agama Islam, seperti cara berwudhu, shalat, puasa, dan lain
sebagainya.
Pada masa khalifah Umar
bin Khattab beliau menginstruksikan kepada penduduk-penduduk kota agar
mengajarkan anak-anak mereka berenang, mengendarai kuda, memanah, membaca dan
menghafal syair-syair mudah dan peribahasa. Dengan begitu, mulai diajarkan
mengenai gerak badan, dan membaca syair-syair yang mudah, serta peribahasa.
Sedangkan sebelumnya hanya diajarkan mengenai membaca Al-Qur’an saja. Instruksi
Umar itu dilaksanakan oleh guru-guru di tempat-tempat yang dapt dilaksanakan.
Misalnya berenang dapat dilaksanakan di kota-kota yang mempunyai sungai,
seperti di Irak, Syam, Mesir, dan lain-lain.
Ilmu-ilmu yang diajarkan
pada tingkat menengah dan tinggi yaitu :
a.
Al-Quran
dan tafsirnya.
b.
Hadist
dan mengumpulkannya.
c.
Fiqih
(Tasyri)
Ilmu-ilmu
yang dianggap duniawi dan filsafat belum ada dalam rencana pengajaran pada masa
itu. Karena ulama-ulama masa itu adalah ulama-ulama agama. Pada masa itu
kebudayaan Yunani dan Romawi telah tersebar di Mesir, Syam, dan Irak. Tetapi
semuanya tunduk dibawah kekuasaan pergerakan agama Islam yang maha dahsyat.[9]
C.
Pendidikan Islam pada Masa Bani Umayyah
Visi pendidikan
pada masa Bani Umayyah adalah unggul dalam ilmu agama dan umum sejalan dengan
kebutuhan zaman dan masing-masing wilayah Islam. Adapun misinya antara lain :
a.
Menyelenggarakan
pendidikan agaman dan umum secara seimbang.
b.
Melakukan
penataan kelembagaan dan aspek-aspek pendidikan Islam.
c.
Memberikan
pelayanan pendidikan pada seluruh wilayah Islam secara adil dan merata.
d.
Menjadikan
pendidikan sebagai penopang utama kemajuan wilayah Islam.
e.
Memberdayakan
masyarakat agar dpaat memecahkan masalahnya sesuai dengan kemampuannya sendiri.
Adapun tujuannya adalah
menghasilkan sumber daya manusia yang unggul secara seimbang dalam ilmu agama
dan umum serta mampu menerapkannya bagi kemajuan wilayah Islam. Sedangakan yang
menjadi sasarannya adalah seluruh umat atau warga yang terdapat di seluruh
wilayah kekuasaan Islam, sebagai dasar bagi dirinya dalam membangun masa depan
yang lebih baik.
Sejarah mencatat, bahwa
pada masa dinasti Umayyah telah dilakukan pembentukan organisasi keuangan,
organisasi ketentraman, organisasi kehakiman, dan membentuk lembaga sosial dan
keagamaan. Terjadinya berbagai kemajuan tesebut dipastikan karena didukung oleh
tersedianya sumber daya manusia (SDM) yang memiliki wawasan ilmu pengetahuan,
ketrampilan, keahlian teknis, dan pengalaman yang dihasilkan melalui proses pendidikan
dalam arti luas. Dalam hal ini, menunjukkan bahwa pada pemerintahan dinasti
Umayyah sudah menaruh perhatian pada bidang pendidikan.
Lembaga-lembaga
pendidikan yang berkembang pada masa Bani Umayyah selain masjid dan rumah
sebagaimana yang telah ada sebelumnya, juga ditambah dengan lembaga-lembaga
sebagai berikut :
a.
Istana,
pendidikan di istana bukan saja mengajarkan ilmu pengetahuan umum, melainkan
juga mengajarkan tentang kecerdasan jiwa dan raga anak.
b.
Badiah,
yaitu lembaga pendidikan yang mengkaji ilmu tata bahasa Arab.
c.
Perpustakaan.
d.
Al-Bimaristan,
adalah rumah sakit tempat berobat dan merawat orang seta sekaligus berfungsi
sebagai tempat melakukan magang dan penelitian bagi calon dokter.
Kurikulum pada masa Bani Umayyah meliputi
:
a.
Ilmu
agama : Al-Quran, hadist, dan fiqh.
b.
Ilmu
sejarah dan geografi.
c.
Ilmu
pengetahuan bidang bahasa, yaitu segala ilmu yang mempelajari bahasa, nahwu,
sharaf, dan lain-lain.
d.
Filsafat,
yaitu segala ilmu yang pada umumnya berasal dari bangsa asing, seperti ilmu
mantik, kimia, astronomi, ilmu hitung, dan ilmu yang berhubungan dengan hal tersebut,
serta ilmu kedokteran.
D.
Pendidikan Islam pada Masa Bani Abbasiyah
Pada permulaan
masa Abbasiyah, pendidikan dan pengajaran berkembang dengan sangat pesatnya di
seluruh negara Islam, sehingga lahir sekolah-sekolah yang tidak terhitung
banyaknya, tersebar dari kota-kota smapai ke desa-desa. Anak-anak dan
pemuda-pemuda berlomba-lomba menuntut ilmu pengetahuan, merantau ke pusat-pusat
pendidikan, meninggalkan kampung halamannya karena cinta akan ilmu pengetahuan.
Jika tujuan
pendidikan pada masa Rasulullah, masa khalifah-khalifah Rasyidin dan Umayyah
itu hanya satu saja, yaitu keagamaan semata, mengajar dan belajar karena Allah
dan mengharapkan keridhaan Allah. Maka tujuan pendidikan pada masa Abbasiyah
sudah bermacam-macam, karena dipengaruhi oleh masyarakat pada masa itu. Tujuan
itu diantaranya ialah :
a.
Tujuan
keagamaan dan akhlak.
Anak-anak
diajarkan membaca dan menghafal Al-Qur’an karena memang kewajiban dalam agama,
agar mereka mengikuti ajaran agama dan berakhlak menurut agama. Begitu juga
dalam belajar ilmu tafsir, hadist, dan sebagainya.
b.
Tujuan
kemasyarakatan
Pemuda-pemuda
belajar dan menuntut ilmu agar mereka dapat mengubah dan memperbaiki
masyarakat, dari masyarakat yang buta pengertahuan menjadi kaya akan
pengetahuan, dari masyarakat yang terbelakang menjadi masyarakat yang maju. Karena
ilmu dunia juga diajarkan di madrasah-madrasah untuk kemajuan masyarakat.
c.
Tujuannya
agar cinta akan ilmu pengetahuan.
Mereka
belajar tanpa mengharapkan keuntungan apa-apa selain mendapat ilmu pengetahuan
yang dalam. Mereka melewati seluruh negara Islam untuk menuntut ilmu tanpa
perduli susah dan bahaya dalam perjalanannya, yang umumnya dengan berjalan kaki
atau mengendarai keledai. yang menjadi tujuan mereka hanya untuk memuaskan jiwa
yang haus akan ilmu pengetahuan.
Lembaga
pendidikan Islam pada masa Abbasiyah dapat diklasifikasikan menjati tiga
tingkat :
1.
Pendidikan
Dasar (terdiri dari kuttab, rumah, toko, pasar dan istana).
Kurikulum
yang diajarkan meliputi materi pelajaran: Membaca dan menghafal Al-Qur’an. Pokok-pokok
agama Islam, wudhu, shalat, puasa. Menulis, Tarikh, Membaca dan menghafal
syair, berhitung, dasar-dasar nahwu dan sharf.
2.
Pendidikan
Menengah (mencakup masjid dan sanggar seni dan ilmu pengetahuan). Kurikulumnya
meliputi: Al-Qur’an, bahasa dan sastra Arab, fiqh, tafsir, hadist, nahwu sharf,
ilmu-ilmu eksakta, mantiq, falak, tarikh, ilmu-ilmu kealaman, kedokteran, dan
musik.
3.
Pendidikan
Tinggi (meliputi masjid, madrasah, dan perpustakaan). Kurikulum pendidikan
tinggi meliputi: Pertama, fakultas ilmu agama dan sastra, mempelajari:
tafsir, hadist, fiqh/ushul fiqh, nahwu sharf, balaghah, bahasa dan sastra Arab.
Kedua, fakultas ilmu-ilmu hikmah (filsafat), mempelajari: mantiq, ilmu
alam dan kimia, seni dan musik, ilmu-ilmu eksakta, ilmu ukur, falak, ilmu
teologi, ilmu hewan, ilmu nabati, ilmu kedokteran,ilmu psikologi.
Namun
kurikulum-kurikulum seperti diatas tidak seragam seluruh daerah, mengingat
situasi dan kondisi setempat yang berbeda-beda.[10]
Ada
dua aspek yang mempengaruhi kemajuan pendidikan Islam pada masa bani Abbasiyah
ini, diantaranya:
1.
Aspek
Politik.
a.
Perpindahan
ibu kota negara dari Syam ke Irak atau Bagdad. Perpindahan ibu kota ini
disebabkan karena Bagdad pada waktu itu merupakan kota yang paling tinggi
kebudayaannya dan sudah lebih dahulu mencapai tingkat ilmu pengetahuan yang
lebih maju daripada Syam.
b.
Banyaknya
cedikiawan yang diangkat menjadi pegawai pemerintahan di istana.[11]
c.
Dengan
diakuinya Mu’tazilah sebagai madzab resmi negara. Mu’tazilah merupakan aliran
yang menganjurkan kemerdekaan dan kebebasan berfikir kepada manusia. Aliran ini
telah berkembang dalam masyarakat terutama pada dinanasti Abbasiyah.[12]
2.
Aspek
Sosiografi
a.
Meningkatkan
kemakmuran umat Islam pada waktu itu.
b.
Luasnya
wilayah kekuasaan Islam menyebabkan banyak orang Persia dan Romawi yang masuk
Islam, kemudian menjadi muslim yang taat. Hal ini menyebabkan perkawinan
campuran yang melahirkan keturunan yang tumbuh dengna memadukan kebudayaan
kedua orang tuanya.
c.
Pribadi
khalifah-khalifah pada masa itu yang sangat mencintai ilmu pengetahuan sehingga
kebijaksanannya banyak ditujukkan kepada kemajuan ilmu pengetahuan.[13]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Proses pendidikan
sebenarnya telah berlangsung sepanjang sejarah dan berkembang sejalan dengan
perkembangan sosial budaya manusia di permukaan bumi. Begitupun dengan
perkembangan ilmu pendidikan Islam sendiri, pada periode klasik pendidikan
Islam muncul sejak agama Islam lahir dibawa oleh Rasulullah lalu kemudian
diteruskan oleh Khulafah Al-rasyidin. Baru setelah itu turun temurun ke dinasti
Umayyah lalu ke dinasti Abbasiyah.
Perkembangan
pendidikan Islam pada periode klasik ini terus tumbuh dan berkembang sampai
akhirnya mencapai masa kejayaannya. Lembaga-lembaga pendidikan terus
bermunculan, kurikulum pendidikan pun terus berkembang seiring perkembangan
zaman. Kemajuan ilmu pengetahuan ini berimbas juga pada kesejahteraan
masyarakatnya yang semakin makmur dan maju.
Daftar Pustaka
Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: PT.
Hidakarya Agung, 1992.
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara,
2008.
Asari, Hasan. Menyingkat Zaman Keemasan Islam, Bandung:
Mizan, 1994.
Arief, Armai. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan
Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Klasik, Bandung: Angkasa, 2004.
Munthoha,
dkk. Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: UII Press, 2002.
[1] Mahmud
Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1992),
hlm. 9.
[2] Q.S.
Al-Alaq ayat 1-5.
[3] Q.S.
Al-Muddassir ayat 1-7.
[4] Ibid,
hlm. 5-6.
[5] Ibid,
hlm. 14.
[6] Zuhairini,
Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 34.
[7] Hasan
Asari, Menyingkat Zaman Keemasan Islam (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 34.
[8] Mahmud
Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1992),
hlm. 39.
[9] Ibid,
hlm. 40-41.
[10] Armai
Arief (Ed), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan
Islam Klasik (Bandung: Angkasa, 2004), hlm. 139.
[11] Munthoha,
dkk. Pemikiran dan Peradaban Islam (Yogyakarta: UII Press, 2002), hlm.
36
[12]Ibid,
hlm. 37.
[13] Ibid,
hlm. 37-38.